Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, terlebih di masa Pandemi Covid-19 seperti saat ini. Namun meskipun demikian, pemerintah seakan menutup mata, telinga dan bahkan hati nuraninya terhadap kasus ini. Hal ini diperkuat dengan belum tersedianya payung hukum yang jelas untuk menangani kasus kekerasan seksual secara menyeluruh, bahkan banyak kasus yang akhirnya tidak ditangani dan menimbulkan ketidakadilan bagi para korbannya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) setiap tahunnya merekap kasus kekerasan seksual yang terlaporkan. Dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2020, mereka mengklaim telah mengirimkan mengirimkan 672 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 35%, yaitu 239 formulir.
Menurutnya, tingkat respon pengembalian tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 sebesar 431.471 sedangkan tahun 2018 sebanyak 406.178. Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan dapat diperingkatkan sebagai berikut:
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)/Ranah Personal mencapai angka 75% (11.105 kasus).
2. Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas/publik mencapai angka 24% (3.602 kasus).
3. Kekerasan terhadap perempuan di ranah Negara mencapai angka 0.1% (12 kasus).
Pada ranah KDRT yang kekerasan paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.783 kasus (43%), kemudian disusul kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), psikis 2.056 (19%) dan ekonomi 1.459 kasus (13%).
Catahu 2020 menggambarkan beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2019. Beberapa kasus yang perlu mendapat perhatian di antaranya adalah kasus inses, kekerasan dalam pacaran dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang di tahun ini meningkat 300% dari 97 kasus menjadi 281 kasus.
Lalu Bagaimana Respon Pemerintah?
Seperti yang sudah ramai diperbincangkan bahwasanya telah digagas Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU P-KS. Penggagasnya antara lain dari Komnas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta dan Forum Pengada Layanan sejak tahun 2014. Draft RUU P-KS telah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2016 dan dimasukkan ke daftar Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun yang sama juga.
Sayangnya, DPR hanya menawarkan janji-janji manis dengan berulang kali memasukkan RUU P-KS ke dalam daftar Prolegnas setiap tahunnya tanpa menghasilkan apa-apa. Puncaknya pada tahun ini, DPR secara resmi mengeluarkan RUU P-KS dari daftar Prolegnas 2020. Bahkan, terucap kata “sulit” dari bibir anggota DPR terkait pembahasan RUU P-KS.
Banyak pihak yang menyayangkan sikap DPR tersebut, karena kasus kekerasan seksual sudah masuk ketahap genting sehingga perlu adanya perhatian khusus dari Pemerintah. Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengatakan bahwa kesulitan pembahasan RUU P-KS dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban.
Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Topo Santoso dalam acara diskusi Bedah RUU-PKS yang diselenggarakan Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan bahwa kebijakan yang mengatur kekerasan seksual relevan diterapkan di Indonesia lantaran kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat, sehingga tidak bisa diabaikan begitu saja oleh Negara.
Apabila kembali kepada Undang-Undang Negara (UUD) Republik Indonesia 1945, di mana Negara harus menjamin dan melindungi kehidupan rakyatnya, namun realitasnya yang terjadi tidak demikian, maka kepada siapa lagi rakyat akan percaya?
Penulis: Yolanda Eka Safitri
Editor: Wilujeng Nurani
0 komentar