“Apakah perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak masih bisa bekerja?"
Singkatnya begitu, pertanyaan teman perempuan saya beberapa waktu lalu. Saya pikir, ini keresahan yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehingga menarik untuk dibahas.
Tentu kita tidak asing dengan pertanyaan semacam itu bukan? Bahkan tidak sedikit yang masih memperdebatkannya. Di mana, perdebatan tentang seorang perempuan yang memilih untuk tetap bekerja meskipun sudah menikah dan memiliki anak kerap kali muncul dari masyarakat yang masih menganut budaya patriarki yang memarginalisasi kaum perempuan dan mendiskrimanasi hak mereka. Salah satunya yaitu hak untuk bebas bekerja dan membangun relasi usaha/bisnis.
Padahal, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk bekerja dan berkarya. Meski seorang suami telah mencukupi kebutuhan keluarganya, seorang istri tetap boleh bekerja meniti karirnya. Lebih jauh dari sekedar urusan nafkah, terbukanya kesempatan ini merupakan hak perempuan untuk berkarya, menyalurkan bakat dan minatnya, melatih skill, dan bersosialisasi menjalin relasi. Dengan begitu, para perempuan dapat merasakan kepuasan tersendiri untuk menjadi bermanfaat maupun memberi manfaat kepada orang lain.
Selain itu, kita perlu memahami bahwa perempuan yang memilih tetap bekerja setelah menikah dan memiliki anak tentu mempunyai alasan yang beragam. Selain untuk mengembangkan skill dan menjalin relasi, alasan terbanyak adalah karena faktor ekonomi. Tingginya kebutuhan keluarga dan harga yang terus meningkat tidak selalu berjalan searah dengan peningkatan penghasilan suami, hal ini menyebabkan istri dituntut pula untuk membantu suami dalam mencari nafkah keluarga.
Terlebih bagi seorang suami dan istri yang sudah atau akan memiliki anak, keduanya perlu untuk saling bekerja sama memikirkan masa depan sang anak. Misalnya kerja sama dalam hal ekonomi, jka kita melihat data Litbang Kompas, peningkatan gaji orang Indonesia tidak mampu mengimbangi biaya pendidikan tinggi untuk anaknya di masa depan. Hal ini karena kenaikan biaya rata-rata perguruan tinggi lebih tinggi dari kenaikan gaji.
Kompas menganalisis dan mengombinasikan data upah lulusan SMA dan universitas dari BPS selama 1995 hingga 2022 serta data biaya studi dari 30 perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) dengan data paling jauh dari sepuluh tahun yang lalu (2013-2022). Menunjukkan bahwa meskipun orangtua sudah menyisihkan 20% penghasilannya selama 18 tahun (72,5 juta), hasil tabungannya tidak akan mampu menuntaskan kuliah anaknya (149,8 juta).
Dengan realitas yang demikian, apakah kita masih merasa benar untuk menghakimi perempuan yang mengambil pilihan tersebut? Bukankah putri Rasulullah, Fatimah mendapatkan upah dari hasil menumbuk gandum, atau kisah istri Nabi Ayub yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga ketika Nabi Ayub tengah sakit, adalah contoh bagaimana perempuan mengambil peran dalam turut memenuhi kebutuhan keluarga.
Tidak hanya itu, masih banyak orang yang memberi label negatif kepada perempuan yang memutuskan tetap bekerja setelah mempunyai anak. Mereka dianggap lebih memilih pekerjaan dibanding mengurusi anak di rumah, sehingga anak-anak menjadi kurang kasih sayang, bahkan lebih parahnya dianggap anak yang tidak terurus dalam hal pendidikan. Tetapi apakah tudingan tersebut sepenuhnya benar?
Berdasarkan hasil survey dari Pusat Studi Gender dan Anak UIN Alauddin Makkasar, terkait ibu yang bekerja dapat meningkatkan prestasi anaknya, diperoleh 92,1% yang mengatakan dapat meningkatkan prestasinya dengan alasan, karena pada umumnya ibu yang bekerja memiliki pola pikir yang moderat, sehingga akan lebih bijaksana, demokratis, dan tidak otoriter dalam mendidik anak-anaknya.
Kemudian, Rocky Gerung dalam kanal YouTube Najwa Shibab yang membahas tentang “Susahnya Jadi Perempuan” mengatakan bahwa evolusi menuntut supaya peradaban tidak punah, agar tidak punah maka harus ada bayi yang dilahirkan dari seorang yang cerdas, yaitu perempuan.
Lantas, apakah kita masih merasa berhak untuk menghakimi perempuan dengan segala macam bentuk pilihan hidupnya, termasuk saat memilh tetap bekerja setelah menikah dan memiliki anak. Bukankah, ibu bekerja atau ibu rumah tangga sama-sama individu yang bekerja. Di mana, keduanya sama-sama hebatnya dan sama-sama memiliki segudang kebaikan dalam dirinya. Jadi, alih-alih menghakimi, lebih baik saling menghargai.
Penulis: Wilujeng Nurani
Editor: Yolanda Eka Safitri
0 komentar