Kasus
prostitusi online menjadi bahasan renyah sejak beberapa tahun terakhir. Apalagi muncul daftar nama
artis Ibu Kota yang
terseret kasus ini. Alhasil kasus prostitusi online yang turut mencatut artis
FTV Vanessa Angel menjadi bahan yang enak untuk di goreng media massa. Masyarakat juga selalu lahap menyantap setiap pemberitaan kasus prostitusi yang muncul.
Sayangnya pemberitaan kasus Vanesa menjadi bias dan tidak lagi terfokus pada kasus prostitusi online melainkan pada sosok Vanessa
Angel. Ini menunjukkan contoh pemberitaan yang beredar sangat bias terhadap perempuan.
Fokus produksi pemberitaan beralih kepada eksploitasi ranah pribadi dan nama
besar Vanessa. Bukan lagi berfokus pada dugaan prostitusi online.
Pemberitaan
yang berbau sensasional memang mendulang berkah tersendiri bagi media yang
memberitakan. Semisal pemberitaan di laman merdeka.com yang berjudul “Selama Setahun, Vanessa Angel 15 Kali
Lakukan Transaksi dengan Mucikari ES”. Hasilnya cukup fantastis, 2.100
orang telah membagikan konten berita ini. Efeknya isu subtansial mengenai dapur
bisnis asusila ini menjadi luput disoroti.
Kasus
Vanessa ini hanya satu dari ribuan pemberitaan yang menyajikan perempuan
sebagai objek pemberitaan. Apalagi kekuatan media yang mampu menggiring opini
publik. Hal tersebut akan membawa dampak pada perempuan yang bersangkutan.
Sebuah perasaan tidak nyaman dan terintimidasi karena pemberitaan yang beredar.
Media
bukan lagi berfungsi untuk memperoleh informasi, melainkan berubah menjadi
institusi bisnis pencari keuntungan. Douglas
Kellner dalam bukunya Critical Theory, Marxism and Modernity, menjelaskan
bahwa media komunikasi dipandang sebagai industri yang mengomersialisasikan dan
menstandardisasikan produk budaya.
Produk budaya di sini adalah cara masyarakat dalam
memandang bias gender. Pemberitaan yang meluputkan masalah substansial dan
lebih menyoroti ‘kehidupan pribadi’ si perempuan. Dan cara pandang media
berimbas pada cara pandang masyarakat. Alhasil masyarakatpun menjadi salah
kaprah dalam memandang konsep gender.
Pergeseran cara pandang membentuk realitas baru bagi
khalayak. Pergeseran dalam mengonsumsi berita yang justru terkesan menyudutkan
pihak tertentu. Sehingga pemarjinalan seseorang atau kelompok dalam bentuk
apapun akan dianggap wajar terjadi. Tak terkecuali dalam
pemberitaan-pemberitaan yang terdapat di media daring. Konsep gender sendiri
masih mejadi objek pemberitaan yang laris di media massa. Dan hal tersebut
memungkinkan terjadinya kriminalisasi media terhadap perempuan dalam
pembingkaian pemberitaan.
Perempuan
dan Seksisme Media
Pantauan dari Komisi Nasional Perempuan pada 2010
terjadi 151 kasus bentuk eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan dalam
pemberitaan di media massa baik nasional maupun lokal. Bentuk kriminalisasi
media ini dalam bentuk di mana perempuan dijadikan objek pemberitaan yang
kemudian dijadikan komoditas untuk di jual kepada pembaca.
Perempuan memang menjadi topik bahasan yang menarik
dalam pemberitaan. Dalam beberapa kasus pemberitaan yang terjadi bukan lagi menampilkan
perempuan dengan citra yang baik. Namun dalam bentuk berbeda: citra buruk yang
sensasional dan seksi. Dalam membuat sebuah berita dibutuhkan negosiasi antara
pembaca dan juga wartawan. Bagaimana suatu realitas akan digambarkan oleh
wartawan. Dan dalam pembuatannya wartawanpun tentu memikirkan apa yang menjadi
kesukaan pembaca.
Sara Mills, akademisi yang banyak menuliskan mengenai
representasi perempuan berpandangan bahwa dalam pembuatan berita, laki-laki dan
perempuan memiliki persepsi yang berbeda. Karenanya seorang wartawan akan
berpikir untuk siapa berita ini ditujukan dan bagaimana sosok perempuan
ditampilkan dalam pemberitaan.
Pemberitaan tersebut pada muaranya akan berakhir pada
bagaimana perempuan di tampilkan dalam pemberitaan. Apakah sebagaimana mestinya
ataukah diperhalus atau justru diperburuk. Seksisme media tentu telah membawa
sebuah persepsi bahwa seperti ‘biasanya’ perempuan memang dijadikan objek
pemberitaan.
Kasus Vanessa Angel tersebut telah memberikan sebuah
persepsi citra yang buruk di ingatan masyarakat. Mendengar namanya saja, banyak
orang yang langsung mengaitkan dengan kasus pelacuran, wanita tuna susila,
ataupun bayaran 80 juta. Dari sinilah nampak adanya pemarjinalan yaitu
digambarkan secara buruk dan dikucilkan perannya.
Hal itulah yang ditampilkan media dalam
pemberitaan kasus Vanessa. Sosoknya digambarkan dengan citra negatif. Meskipun
tidak dapat dipungkiri bahwa pemberitaan ini adalah hasil kerja antara penulis
dengan pembaca yang melestarikan bias gender yang ada di dalam masyarakat.
Semakin sering khalayak mengonsumsi berita yang bias gender maka akan semakin
banyak pula berita-berita tersebut.
Alhasil menjadikan perempuan sebagai objek pemberitaan merupakan cara media untuk menarik pembaca. Kasus Vanessa dalam konteks luas merupakan bentuk pemarjinalan dan korban dari ketidakadilan gender dalam pemberitaan. Karena semakin seksi dan sensasional maka semakin menarik perhatian khalayak. Dan inilah wajah perempuan seperti inilah yang masih menghiasi bingkai pemberitaan media di Indonesia.
Penulis: Puput Mahfudloh
Editor: Choris Satun Nikmah
0 komentar