“Kecewanya sama manusia kok marahnya ke Tuhan,” tulis netizen.
“Punya masalah sama manusia tapi yang dijauhi Tuhan,” saut netizen lain.
Demikian sepenggal cuitan yang mungkin sudah menjadi komentar andalan netizen setiap kali ada berita publik figur perempuan yang memilih lepas hijab usai mengalami masalah rumah tangga hingga memutuskan bercerai.
Mulai dari Rachel Vennya, Putri Anne hingga yang terbaru Nathalie Holscher. Semua unggahan terbaru mereka yang tidak mengenakan hijab, selalu dipenuhi komentar-komentar negatif, semua netizen seolah berhak untuk menghakimi putusan mereka tersebut.
Bahkan, tidak sedikit perempuan yang menjadi bagian dari netizen tersebut. Fenomena ini sangat disayangkan, bukan? Di mana sebagian perempuan sedang sibuk memperjuangkan #womensupportwomen yang berarti perempuan mendukung sesama perempuan. Namun ternyata, masih banyak dari sebagian perempuan lain yang justru saling menjatuhkan atau bahkan bersikap seksis terhadap sesama perempuan.
Bukankah setiap dari kita boleh mempunyai pemaknaan hijab yang berbeda-beda, sama halnya dengan para ulama yang berbeda pendapat tentang pengertian hijab. Lantas mengapa kita masih memaksakan orang lain untuk mengikuti pandangan kita?
Layaknya netizen pada umumnya yang merasa paling benar, mereka tidak segan bersikap seolah sebagai pengawas dan hakim kebenaran terhadap orang lain, yang belum tentu pihak lain berada di jalan yang salah atau sepenuhnya salah.
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikannya?
Terkadang, kita tak menyadari bahwa dalam hidup bersama kita tidak bisa memaksakan kehendak dan pandangan sendiri. Perempuan yang memilih melepas hijab pasti memiliki alasan tersendiri atas pilihannya tersebut. Kita harus menyadari bahwa kita sama sekali tidak tahu perjalanan spiritual mereka dalam melepas hijab seperti apa. Tentunya ada fase panjang yang harus mereka lewati sebelum akhirnya memberanikan diri menanggalkan hijab.
Kemudian, setiap perempuan yang memutuskan untuk melepas hijab pasti sudah dipikirkan matang-matang. Bagi mereka, butuh waktu lama untuk berdamai dengan dirinya sendiri, mengumpulkan keberanian menghadapi penghakiman dari keluarga, kerabat, dan temam-teman. Namun, konsekuensi besar itu pasti sudah dipikirkan secara matang, oleh karena itu, kita harus menghargai keputusan setiap orang yang sudah berani mengambil keputusan besar tersebut.
Selain itu, narasi surga dan neraka juga kerap menjadi penghakiman kepada perempuan yang memutuskan melepas hijab. Bukankah hak dan kewenangan soal surga dan neraka itu bukan berada di tangan manusia? Lantas apa hak manusia mengurusi surga dan neraka orang lain?
Seperti yang dikatakan Suster Monic dalam film Ave Maryam
“Jika surga belum pasti buat saya, untuk apa saya mengurusi nerakamu?”
Jadi girls, alih-alih menghina dan merendahkan sesama perempuan, mari hargai keunikan dan perbedaan masing-masing dari kita. Sudah sepatutnya kita intropeksi diri dengan tidak ikut campur dan seenaknya melabeli seseorang hanya karena kita berbeda dalam mengamini sesuatu.
Penulis: Wilujeng Nurani
Editor: Choris Satun Nikmah
0 komentar