Tulisan ini akan mengulas perkembangan feminisme barat dari abad kedelapan belas hingga abad ke dua satu, di mana pada saat itu feminisme memasuki era postfeminisme, yaitu era ketika feminisme mulai mengungkapkan kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dialami perempuan. Di sini, feminisme akan dibagi menjadi empat fase perkembangan yang pada hakikatnya, keempatnya memiliki tujuan yang sama yakni untuk memperjuangkan subjektivitas perempuan. Meskipun memang tidak dapat dipungkiri, bahwa pada setiap fase yang ada, tentu memiliki penekanan perjuangan yang berbeda dan setiap fase berikutnya merupakan revisi dari fase sebelumnya.
Sarah Gamble mendefinisikan feminisme secara umum sebagai, “the belief that women, purely and simply because they are women, are treated inequitably within a society which is organized to prioritise male viewpoints and concerns.” Feminisme merupakan sebuah paham, kajian dan gerakan sosial yang bertujuan untuk mengubah status subordinat perempuan dalam masyarakat yang mengutamakan perspektif laki-laki. Di mana, masyarakat yang mengutamakan kepentingan laki-laki di atas kepentingan perempuan didefinisikan sebagai masyarakat yang patriarkis.
Dari definisi feminisme di atas, perlu diingat bahwa feminisme bukanlah gerakan universal dengan konsep homogen yang dapat mewakili seluruh perempuan, lantaran feminisme merupakan konsep yang sangat luas dan majemuk. Hal ini senada seperti yang ditekankan Tong, bahwa feminisme adalah sebuah kata yang memayungi berbagai pendekatan, pandangan dan kerangka berpikir yang digunakan untuk menjelaskan penindasan terhadap perempuan dan jalan keluar yang digunakan untuk meruntuhkan penindasan tersebut.
Sebagai usaha untuk menarik benang merah perkembangan feminisme secara kronologis, Sarah Gamble kemudian membagi feminisme menjadi empat fase perkembangan, yakni gerakan feminisme awal, feminisme gelombang pertama, feminisme gelombang kedua dan feminisme gelombang ketiga/ postfeminisme.
Gerakan Feminisme Awal
Gerakan feminisme awal, dimulai sekitar tahun 1550-1700, di mana gerakan ini merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk menghadapi patriarki di Inggris. Fokus perjuangan feminisme awal sendiri yaitu melawan pandangan patriarkis mengenai posisi subordinat perempuan yang pada waktu itu dianggap sebagai mahkluk yang lebih lemah, lebih emosional serta tidak rasional.
Menurut Hodgson-Wright, perjuangan feminisme awal dilakukan melalui tiga cara. Pertama, melalui usaha untuk merivisi esensials subordinasi perempuan dalam ajaran gereja. Kedua, usaha menentang berbagai buku panduan yang bersikap cenderung mengekang perempuan pada zaman tersebut. Ketiga, usaha membangun solidaritas antar penulis perempuan, yang nantinya usaha ini akan membuahkan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Perjuangan gerakan feminisme awal ini, dimungkinkan lahir bersamaan dengan berkembangnya pencerahan di Inggris, yaitu ketika perempuan dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang turut berperan bagi perkembangan masyarakat.
Feminisme Gelombang Pertama
Feminisme gelombang pertama, muncul bersamaan dengan lahirnya tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul “The Vindication of the Rights of Woman,” yaitu sekitar tahun 1792 hingga perempuan memiliki hak pilih pada awal abad ke dua puluh (1918). Perjuangan feminisme gelombang pertama ini bisa diartikan sebagai lanjutan dari gerakan feminisme awal, yaitu mengenai pendidikan. Di mana, mereka mulai menuntut agar anak perempuan dapat belajar di sekolah pemerintah seperti anak laki-laki, sehingga anak perempuan mampu berkembang menjadi individu yang mandiri, terutama secara finansial. Tidak berhenti di sini, perjuangan Wollstonecraft kemudian dilanjutkan oleh pasangan Harriet dan John Stuart Mill, yang mana pada saat itu mereka memperjuangkan adanya perluasan kesempatan kerja bagi perempuan serta memperjuangkan hak perempuan setelah menikah dan hak asuh anak setelah perceraian. Seiring berjalannya waktu, aktifitas kaum feminis juga mulai bergaung di Amerika yang ditandai dengan adanya Seneca Falls Convention pada tahun 1848 yang menuntut dihapuskannya semua diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
Feminisme Gelombang Kedua
Feminisme gelombang kedua, dimulai pada tahun 1960-an yang ditandai dengan terbitnya The Feminine Mystique, diikuti dengan berdirinya National Organization for Woman (NOW) serta munculnya kelompok-kelompok Conscious Raising (CR). Pada saat itu, feminisme gelombang kedua membawa tema besar, yaitu “Women’s Liberation,” sehingga mereka dianggap sebagai gerakan kolektif yang revolusionis. Gelombang kedua ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan perempuan atas berbagai diskriminasi yang mereka alami, meskipun emansipasi secara hukum dan politis telah dicapai oleh feminisme gelombang pertama. Untuk itu, feminisme gelombang kedua lebih fokus pada isu-isu yang mempengaruhi hidup perempuan secara langsung, seperti reproduksi, pengasuhan anak, kekerasan seksual, seksualitas perempuan hingga masalah domestisitas.
Di Amerika, feminisme gelombang kedua dapat dikelompokkan menjadi dua aliran. Pertama, kelompok aliran kanan yaitu kelompok yang cenderung bersifat liberal yang bertujuan untuk memperjuangkan partisipasi perempuan di seluruh kehidupan sosial dengan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Kedua, kelompok aliran kiri yaitu kelompok yang bersifat lebih radikal. Feminisme radikal ini berangkat dari reaksi para feminis yang merasa tidak terfasilitasi karena perbedaan ras, kelas dan protes terhadap kekejaman Amerika dalam perang Vietnam. Paham yang dibawa oleh feminisme radikal pada saat itu “the Personal is Political,” adalah paham yang menyatakan bahwa kekuasaan patriarki bekerja pada institusi-institusi personal seperti pernikahan, pengasuhan anak dan kehidupan seksual. Maka dari itu, mereka menganggap bahwa perempuan telah dipaksa oleh patriarki untuk bersikap apolitis, mengalah dan lemah lembut.
Selain itu, mereka juga menentang kontes-kontes kecantikan, karena menurutnya kontes tersebut adalah sarana untuk mencekoki perempuan dengan standar kecantikan yang akhirnya dapat melemahkan posisi perempuan. Sama halnya dengan Amerika, di Inggris feminisme gelombang kedua juga dibagi menjadi dua aliran, di mana aliran kanan terdiri dari perempuan pekerja dan aliran kiri dipengaruhi oleh paham Sosialis Marxisme. Namun, meskipun terdapat pengelompokan semacam itu, dalam The British National Women’s Liberation Conference pada tahun 1970, kedua aliran ini bersatu dan menyuarakan satu feminisme. Secara bersamaan, mereka menuntut persamaan upah, persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tempat penitipan anak 24 jam, alat kontrasepsi gratis dan aborsi sesuai kebutuhan. Tuntutan-tuntutan ini menunjukkan bahwa feminisme gelombang kedua berfokus pada isu perempuan sebagai kelompok yang tertindas dan tubuh perempuan sebagai situs utama penindasan tersebut.
Feminisme Gelombang Ketiga/ Postfeminisme
Feminisme gelombang ketiga atau yang disebut juga postfeminisme, dimulai sejak akhir tahun 1980-an bersamaan dengan tuntutan pendefinisian kembali berbagai konsep dalam feminisme pasca berakhirnya feminisme gelombang kedua sekitar tahun 1970-an. Hal ini terjadi lantaran banyaknya suara yang tak terwakili dalam feminisme gelombang kedua berpadu dengan perkembangan post-modernisme, sehingga perkembangan feminisme pada saat itu menjadi sangat majemuk. Dikotomi antara feminisme gelombang ketiga dan postfeminisme dalam perkembangan feminisme pasca gelombang kedua merupakan salah satu permasalahan mendasar mengenai penamaan perkembangan feminisme pasca 1970-an.
Menurut Zeisler, kemajemukan definisi feminisme gelombang ketiga ini terjadi lantaran masing-masing pelopornya berusaha merumuskan gelombang feminisme sesuai dengan pengalaman individual atau kelompok semata. Namun, terlepas dari berbagai kontradiksi dalam pendefinisian feminisme pasca gelombang kedua ini, Genz dan Brabon melihat bahwa feminisme gelombang ketiga maupun postfeminisme memiliki banyak persamaan. Bahkan, keduanya sering digunakan sebagai istilah yang memayungi seluruh perkembangan feminisme pasca 1970-an. Hal ini ditandai ketika keduanya dipengaruhi oleh teori-teori postmodern yang menuntut mereka untuk berani mengakui perbedaan dan merangkul kemajemukan sebagai modal bagi perempuan untuk mengembangkan feminisme dengan keyakinan bahwa feminisme pasca gelombang kedua berkomitmen untuk merangkul aliran-aliran feminisme yang berbeda.
Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa feminisme telah berkembang dari sekedar perjuangan untuk diakui sebagai manusia yang memiliki rasio seperti layaknya laki-laki, menjadi gerakan yang memiliki aspirasi majemuk. Namun, inti dari keempat perjuangan tersebut adalah kesetaraan perempuan untuk menjadi subjek aktif dalam hidupnya. Perubahan feminisme dari waktu ke waktu maupun kemajemukan feminisme pasca 1970-an tidak bisa diartikan sebagai sebuah kelemahan, melainkan bukti bahwa feminisme dapat beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan perempuan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi.
Sumber: Ni Komang Arie Suwastini, "Perkembangan Feminisme Barat Dari Abad Kedelapan Belas Hingga Postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoritis", Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 1, 2013.
Penulis: Wilujeng Nurani
Editor: Yolanda Eka Safitri
1 komentar
Idolakuuu ... Sungguh kamu hidup meskipun nganggur
BalasHapus