Mahabharata merupakan sebuah kisah legenda dalam pementasan
pewayangan. Kisah tersebut telah banyak dijadikan buku bahkan sebuah film untuk
menvisualisasikannya. Kisah Mahabharata digadang-gadang sarat akan nilai-nilai
kehidupan. Dimana setiap perbuatan kebajikan dan kemungkaran akan mendapatkan
ganjaran yang sesuai.
Dalam kisah Mahabharata terdapat dua tokoh utama yaitu Pandawa dan Kurawa. Pandawa merujuk pada
lima orang ksatria yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan
Sadewa. Sementara Kurawa merupakan seratus bersaudara dimana tokoh yang paling
sering dimunculkan adalah Dhuryudana dan Dursasana. Pandawa diceritakan sebagai
pihak protagonis yang selalu membela keadilan dan kebenaran, sementara Kurawa
adalah pihak antagonis yang selalu melakukan kemungkaran.
Pandawa
dan Kurawa masih bersaudara dalam garis keturunan satu kakek. Namun dalam sejak kecil Pandawa dan Kurawa
selalu berselisih dan tidak akur satu sama lain. Hingga puncaknya ketika dewasa
terjadi perang saudara diantara mereka yang dikenal dengan Perang Bharatayudha.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana
orang-orang yang bersaudara menyebabkan sebuah pertempuran besar?
Awal
mula penyebab Perang Bharatayudha yaitu adanya permainan dadu yang
direkayasa sedemikian rupa untuk mempertaruhkan segala yang dimiliki, termasuk
istri dan saudara. Permainan tersebut dapat disebut sebagai sebuah perjudian.
Yudistira, dikisahkan sebagai sosok kakak tertua dari para Pandawa yang selalu
berpihak pada kebenaran dan keadilan, dia tidak pernah berbohong ataupun
mengingkari apa yang dia ucapkan. Hal ini dimanfaatkan Dhuryudana untuk membuat
Yudistira terus bermain dalam permainan dadu.
Singkatnya,
dalam permainan tersebut Yudistira selalu kalah hingga kehilangan banyak harta
dan kemerdekaan dari saudara-saudaranya bahkan kemerdekaan atas dirinya
sendiri. Pada posisi ini, para Pandawa telah menjadi budak dari Dhuryudana.
Kemudian ia menyuruh Yudistira untuk mempertaruhkan
istrinya, Drupadi dalam permainan dadu tersebut. Yudistira pun tidak kuasa
menolak perintah Dhuryudana.
Drupadi
adalah istri dari kelima ksatria Pandawa. Drupadi melakukan poliandri yang merupakan
ketidaksengajaan atas perintah Ibu Pandawa yaitu Kunthi. Pada permainan dadu tersebut.,
akhirnya Yudistira kalah dan Drupadi yang dipertaruhkan akhirnya menjadi budak
Duryudana. Lalu Dhuryunana meminta kepada
saudaranya Dursasana untuk membawa budak Drupadi ke ruang permainan dadu.
Drupadi dipaksa menuruti permintaan Dhuryudana, ia diseret, dipukul, dan
dijambak dari kamarnya hingga ke ruangan tersebut.
Sesampainya
di tempat permainan dadu yang mana seluruh isinya adalah laki-laki, Dhuryudana hendak melecehkan Drupadi dengan melucuti pakaiannya
dihadapan semua orang. Atas kuasa Dewa Krishna, ajaibnya
bukan pakaian Drupadi yang terlucuti, akan tetapi seluruh lelaki yang disanalah
yang kehilangan pakaiaan, mahkota, dan perhiasan yang dikenakannya. Kemudian
hadir Ibu Ratu Gandari dari Kurawa dan Ibu Ratu Kunthi di arena permainan dadu. Ibu Ratu Kunthi menolong Drupadi dan Ibu
Ratu Gandari menghardik anaknya sendiri Duryudana.
Ibu Ratu Gandari berkata, dirinya
memang selalu mendukung PDuryudana, tapi tidak untuk kali ini. Bagaimanapun
juga Gandari dan Drupadi sama-sama perempuan. Menghina satu orang perempuan
berarti sama dengan menghina semua perempuan di dunia. Menghina Drupadi berarti
sama dengan menghina Gandari. Kali ini Ibu Ratu Gandari benar-benar marah. Ia
meminta permainan dadu dibatalkan, dan semua harta benda milik Pandawa harus
dikembalikan. Para Pandawa juga harus dibebaskan, tidak boleh lagi menjadi
budak para Kurawa. Namun, Duryudana meminta pada Ibunya Gandari untuk sekali
lagi bermain.
Pada permainan terakhir
Pandawa tetap kalah. Pandawa dan Drupadi pun harus hidup selama 12 tahun di hutan dan satu tahun hidup di suatu
negeri dengan merahasiakan identitas masing-masing. Pandawa begitu murka dan menyesali apa yang terjadi pada Drupadi hingga mengambil sumpah untuk
mengembalikan kehormatan Drupadi melalui sebuah Perang, yaitu Perang
Bharatayudha.
Kemudian
beberapa orang mengambil sumpah serapahnya, diantaranya adalah:
Pertama, Drupadi, antara lain sumpahnya berbunyi “Saya tidak akan
menghias dan mengikat rambut saya sampai saya mencucinya dengan darah
Dursasana”
Kedua, Bima, “Saya bersumpah akan menghabisi seluruh anak raja
Destrarastra dan saya yang akan mencuci rambut Drupadi dengan darah Dursasana
dan meminum darah dari dadanya”
Ketiga, Ibu Ratu Kunthi, “Pengembalian kehormatan Drupadi adalah
kewajiban bagi anak-anak saya, wahai para putra Pandu”.
Selama masa pembuangan Pandawa, pelecehan terhadap perempuan, perjudian atas istri dan
hubungan kekerabatan semakin marak terjadi di lingkungan kerajaan. Semakin
banyak istri dan saudara yang dijadikan sebagai bahan taruhan, maraknya
pelecehan terhadap perempuan bahkan di ruang-ruang publik. Seakan hal tersebut
menjadi lumrah karena mereka semua
meniru perilaku Kurawa atas Drupadi. Seorang ratu saja tiada berharga di
hadapan para tokoh kerajaan apalagi perempuan-perempuan
biasa.
Feminisme
adalah sebuah perwujudan dari perjuangan hak-hak perempuan, maka dengan melihat kisah Mahabharata dapat kita pahami bahwa
perang Bharatayudha adalah bentuk perjuangan atas keadilan dan kehormatan terhadap
perempuan yang disimbolkan dengan Drupadi. Dimana Drupadi secara tidak langsung
meminta Pandawa untuk mengembalikan kehormatannya sebagai istri Pandawa dan
juga sebagai perempuan melalui sumpahnya.
Drupadi sendiri juga adalah
korban dari sistem Patriarki. Tanpa
meminta persetujuannya terlebih dulu, Yudistira mempertaruhkan dirinya seakan
seperti benda, meskipun dikelabui oleh Duryudana. Kemudian perasaan saling mendukung dan melindungi sesama
perempuan terpancar dari aksi Ibu Ratu Kunthi dan Ibu Ratu Gandari yang mencoba
melindungi Drupadi sebagai korban. Nilai
ini juga yang dibawa dari pemahaman Feminisme. Satu perempuan merasakan
penderitaan, maka perempuan seluruh dunia juga dapat merasakannya.
Walaupun pada latar kisah Mahabharata belum mengenal istilah Feminisme, namun memperjuangkan hak-hak perempuan telah diwujudkan sejak lama. Kita pun bisa memetik pelajaran berharga tentang bagaimana perjuangan seorang perempuan dalam membela kehormatannya sebagai manusia. Perjuangan Feminisme dulu belum hadir secara istilah namun telah terwujud nyata dalam sebuah kisah.
Penulis: Choris Satun Nikmah
Editor: Yolanda Eka Safitri
0 komentar