
Setiap kali saya membicarakan mengenai ketimpangan gender kepada perempuan lainnya, maka saya akan menemukan kisah baru dengan inti permasalahan yang sama. Saya selalu aktif meneriakkan kata-kata perlawanan terhadap ketimpangan gender, tapi anehnya sedikit sekali saya bisa melihat dan mendengar langsung kasus penderitaan yang dialami perempuan. Maka begitu perempuan lainnya membagikan kisah yang dialaminya ataupun orang yang dikenalnya, maka antusias saya meningkat 10 kali lipat.
Kisah
pertama yang saya dengar mengenai si U yang menggambarkan bagaimana kehidupan
pernikahannya yang terlihat sangat tragis. U sempat dilamar oleh kekasihnya,
namun sang Ayah menolaknya karena perbedaan aliran agama yang diyakininya.
Akhirnya U dinikahkan paksa oleh Ayahnya kepada laki-laki lain sebagai istri
kedua. Alasannya, sudah tentu karena mereka mengikuti aliran agama yang sama.
Setelah
menikah U dipaksa merubah kebiasaan dan cara berpakaiannya sehari-hari. U harus
memakai pakaian abaya serba hitam dari ujung kaki sampai kepala dan juga cadar.
Tak sampai disitu, U tidak boleh lagi memegang handphone kecuali suaminya. Bahkan U dipaksa menggunduli rambutnya
sampai habis tak tersisa.
Tak
sampai disitu, U dilarang memakan makanan dari luar rumah. Ia hanya boleh makan
makanan yang berasal dari kebun pribadinya. Betapa tertekannya U hingga berat
badannya turun drastis. Saat ini U telah memiliki dua orang anak dan bertahan
dalam pernikahan yang tak pernah dikehendakinya.
Kisah
kedua mengenai perempuan bernama I yang tak kalah membuat saya tercengang. I berasal
dari keluarga yang kaya. Namun setelah tamat SMA, ia tak diperbolehkan untuk
kuliah ataupun kerja. Mirisnya lagi, I tak boleh keluar rumah. Dia benar-benar
harus ada di rumah. Bahkan ketika teman-temannya asik bermain ke rumahnya, Ibu
I tidak akan segan-segan mengusir temannya untuk segera pulang.
Kerjaan
I di rumah hanya membantu Ibunya mengurusi pekerjaan rumah. Kakak laki-laki I
bahkan pernah berkata bahwa I tak perlu susah-susah kuliah ataupun kerja. Ia
hanya cukup menunggu jodoh saja di rumah. Bahkan Ibu I juga mendukung
pernyataan tersebut dengan mengatakan, perempuan tak perlu berpendidikan tinggi
karena pada akhirnya dia akan bertugas di dapur.
Mendengar
kedua kisah ini membuat saya cukup tercengang. Ternyata budaya patriarki memang
masih tumbuh subur di muka bumi. Bayangkan saja kita sedang menghadapi revolusi
industri 4.0 namun masih ada perempuan yang dibatasi aksesnya terhadap
teknologi. Belum lagi pemberdayaan perempuan yang sampai saat ini masih terus
dikampanyekan, namun masih ada perempuan yang tak boleh mencicipi pendidikan
lebih lanjut.
Tak
hanya itu, perempuan hanya dianggap sebagai objek peliharaan. Dimana cara
berpakaian, dan berperilaku harus mengikuti sang empunya. Perempuan tak diberi
pilihan untuk menentukan sendiri apa yang dia rasa baik untuknya. Suaranya tak
pernah diperhitungkan sebagai manusia yang memiliki kebebasan berpendapat yang
bahkan dijamin oleh undang-undang.
Betapa
kejamnya patriarki membuat perempuan menjadi korban yang lemah dan tak berdaya.
Kiranya kita berpikir bahwa kehidupan kita sebagai perempuan merasa aman dan
baik-baik saja, itu karena privilege yang kita punya. Namun, pernah kah kita
membayangkan berada di posisi perempuan yang terkukung sistem patriarki?
Patriarki sudah seharusnya benar-benar dibumi hanguskan hingga tak tersisa. Karena sudah terlalu lama kekejaman dan ketidakadilan yang diderita oleh perempuan akibatnya. Maka melawan adalah satu-satunya cara untuk mencapai keadilan bagi perempuan. Perlu lebih banyak suara-suara perlawanan agar perempuan yang diam dan ketakutan mendapat kekuatan.
Penulis: Yolanda Eka safitri
Editor: Wilujeng Nurani
0 komentar