Jika
kamu dihadapkan oleh sekelompok orang yang berjumlah kurang lebih lima orang, kemudian mereka
mengajak kamu duel adu kekuatan, apa tanggapanmu? Tentu, kamu akan merasa
itu tidak adil karena mereka berjumlah lebih banyak, sedangkan dirimu seorang diri, bukan? Dan pasti juga, kamu akan mengatakan itu adalah pengeroyokan. Ya, kurang
lebih begitulah ilustrasinya jika berbicara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.
Kita
asumsikan kelompok mayoritas dan minoritas ini ke dalam sebuah agama. Jika
berbicara Indonesia, maka agama mana yang memiliki pengikut terbanyak? Sudah
tentu jawabannya adalah Islam. Namun, jika berbicara Prancis, agama mana yang
memiliki pengikut terbanyak? Yang pasti jawabannya bukanlah Islam. Islam
menjadi mayoritas di Indonesia, namun belum tentu di negara lain.
Menjadi
bagian dari mayoritas, tidak bisa dipungkuri memiliki sejumlah keuntungan.
Selain merasa memiliki teman yang banyak, mereka pun merasa dipermudah
urusannya. Ya, karena kelompok mayoritas, sudah pasti hampir di seluruh
pelosok Indonesia mereka akan saling bertemu dengan sesamanya.
Lalu,
bagaimana nasib kelompok minoritas? Sebagai kelompok masyarakat kedua atau
bahkan paling terkecil pun tidak ada bedanya. Karena mereka berjumlah sedikit,
urusan mereka pun sering dipersulit. Bahkan tidak jarang menjadi korban
pengucilan dan kekerasan hanya karena mereka berasal dari kaum minoritas.
Tragis memang, tetapi fakta itu masih berlanjut hingga detik ini.
Saya
tak akan mengatakan bahwa agama A lebih baik dari agama B. Namun kalau ingin
perbandingan yang apple to apple,
maka bandingkan jika agama A sebagai mayoritas dan agama B sebagai minoritas di
negara Indonesia, dengan agama A sebagai minoritas dan agama B sebagai mayoritas
di negara Amerika. Maka situasi yang terjadi juga tak akan berbeda. Mayoritas
akan berkuasa atas minoritas.
Hal
ini berlaku juga untuk suku dan ras yang kerap kali di kotak-kotakan dalam
kelompok mayoritas dan minoritas. Seperti Pulau Jawa yang lebih banyak dipadati
orang Jawa dan Pulau Papua yang dipadati oleh orang Papua. Jika orang Papua
tinggal di Pulau Jawa, maka otomatis bisa kita katakan kelompok minoritas,
begitu pun jika orang Jawa tinggal di Pulau Papua.
Bullshit, kalau kalian menolak penjelasan saya di atas dengan
mengatakan kita semua sama sebagai orang Indonesia, lalu membawa semboyan
Bhinneka Tunggal Ika. Karena kenyataannya, ada perbedaan di setiap individu
yang tinggal di Indonesia jika berbicara agama, suku dan ras. Jika kalian
merasa sama, lalu mengapa kasus mayoritas vs minoritas selalu terjadi?
Kelompok
mayoritas bebas membangun rumah ibadahnya, bahkan di lokasi terpencil sekalipun.
Sedangkan minoritas harus memiliki izin, namun ketika perizinan telah
dikantongi, kelompok mayoritas yang tinggal di dekat lokasi bakal rumah ibadah
minoritas menolak keras. Lainnya, jika terjadi kasus penyerangan terhadap orang
mayoritas, beramai-ramai kelompok mayoritas memberi dukungan dan penuntutan
untuk mengusut kasusnya. Namun, jika minoritas yang diserang, kelompok mayoritas
menutup mata, telinga dan hati nuraninya!
Jadi,
dimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang selalu dielu-elukan oleh kelompok
mayoritas? Dimana praktik dari sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia? Lalu, apa yang seharusnya kalian lakukan sebagai
bagian dari mayoritas?
Penulis: Yolanda Eka Safitri
Editor: Wilujeng Nurani
0 komentar