Saat
ini perempuan sedang dielu-elukan dalam perekonomian Indonesia. Bagaimana
tidak, saat Covid-19 melanda, perekonomian Indonesia sempat mengalami penurunan
bahkan bisa dikatakan anjlok secara mendadak. Namun semua masih bisa teratasi
dan perekonomian Indonesia mulai membaik perlahan. Hal ini tak lepas dari peran
perempuan, karena banyak perempuan mulai terjun dalam dunia wirausaha seperti perdagangan
ecer maupun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Terlebih pada ibu rumah tangga
yang mulai berwirausaha karena suami yang menjadi pencari nafkah tunggal terkena
dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Fakta
lainnya berdasarkan Survei Angkatan
Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik Indonesia untuk
persentase perempuan mengalami peningkatan. Berikut tabel untuk membandingkan
persentase pada tahun 2019 dan tahun 2020:
Keterangan |
2019 |
2020 |
|
Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) |
51,89% |
53,13% |
|
Tingkat
Ketidakaktifan |
48,11% |
46,87% |
|
Employement to
Population Ratio (EPR) |
49,18% |
49,70% |
|
Sektor Bekerja |
Formal |
34,20% |
34,60% |
Informal |
41,97% |
57,35% |
Dapat
dilihat pada tabel di atas persentase TPAK perempuan yang meningkat. Kemudian pada EPR atau Rasio Penduduk Bekerja terhadap Jumlah Penduduk Usia Kerja juga meningkat. Hal ini juga menurunkan
angka ketidaktifan perempuan dalam bekerja. Kesimpulannya, bahwa sudah makin
banyak perempuan yang aktif dalam ekonomi. Bahkan pada Sakernas 2020 tertulis
pada Lapangan Pekerjaan Utama perempuan lebih unggul dalam kategori perdagangan
besar dan ecer.
Meskipun
tingkat partisipasi perempuan dalam ekonomi meningkat, tidak lantas
menyelesaikan permasalahan perempuan dalam kesempatan bekerja. Banyak pekerja
perempuan yang mengalami kesulitan terkait pengasuhan anak. Karena memang tidak
mungkin membawa anak ke tempat bekerja. Untuk sebagian perempuan yang
beruntung, mereka akan menyewa jasa pekerja rumah tangga, menitipkan anak
kepada keluarga yang masih tinggal berdekatan, atau menitipkan pada tempat
penitipan anak yang lebih terkenal disebut Day
Care.
Namun
biaya untuk menggunakan jasa Day Care
tidaklah murah dan ketersediaannya di Indonesia hingga hari ini terbatas. Tidak
semua perusahaan mau dan mampu memfasilitasi pekerja perempuan dengan membangun
Day Care. Bahkan dalam gedung-gedung
pemerintah pun belum tersedia fasilitas ini. Padahal Day Care bisa menjadi solusi utama untuk pekerja perempuan yang khawatir
meninggalkan anaknya untuk bekerja.
Jika
pekerja perempuan bisa mengakses fasilitas Day
Care, maka kekhawatiran mereka akan teratasi. Sehingga produktivitas
perempuan dalam bekerja juga akan meningkat. Jika produktivitas pekerja
perempuan meningkat, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang pastinya
meningkat. Hal ini juga akan berpengaruh pada aktivitas perekonomian negara yang
nantinya juga meningkat.
Lagi-lagi, hal ini dipicu kebijakan pemerintah yang masih belum maksimal dalam pembangunan
berpersektif gender. Pemerintah seharusnya bisa membuat kebijakan untuk
perusahaan agar menjalankan kebijakan yang ramah perempuan dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). Salah satunya dengan mewajibkan mengadakan Day Care dan disubsidikan dari anggaran
pemerintah bagi perusahaan kecil. Mengingat biaya dalam pengadaan Day Care tidaklah bisa dikatakan murah.
Sangat
disayangkan, jika tingkat partisipasi perempuan dalam ekonomi yang
semakin meningkat tidak dibarengi dengan peran aktif pemerintah untuk mendukung perempuan. Karena Day Care saat ini sudah menjadi hal yang
sangat dibutuhkan oleh para pekerja perempuan yang kerap kali resah ketika meninggalkan
anak mereka. Adanya Day Care juga
bisa berdampak baik terkait hubungan emosional anak dengan orang tua, khususnya
sebagai ibu.
Editor: Choris Satun Nikmah
0 komentar