Pada umumnya, perempuan memiliki dua jenis pengalaman, pertama pengalaman biologis dan kedua pengalaman sosial. Pengalaman biologis, bisa kita lihat dari sistem reproduksi perempuan yang berbeda dengan laki-laki, di mana perempuan bisa mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Sementara, pengalaman sosial perempuan itu terjadi semata-mata hanya karena menjadi perempuan, sehingga perempuan kerap kali mengalami ketidakadilan, seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda.
Cara pandang kita dalam menyikapi kedua pengalaman perempuan, baik secara biologis maupun sosial, akan menentukan keadilan jenis apa yang kita berikan pada perempuan. Apabila kita memilih untuk mengabaikan kedua pengalaman tersebut, maka keadilan yang muncul adalah keadilan legal, formal dan tekstual. Lain halnya, ketika keadilan difokuskan pada persamaan laki-laki dan perempuan sembari memberikan perhatian khusus pada pengalaman biologis agar difasilitasi dan pengalaman sosial perempuan untuk dihapuskan, maka keadilan yang muncul adalah keadilan yang hakiki bagi perempuan.
Maka dari itu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana menjadikan pengalaman perempuan sebagai perspektif dalam memahami teks agama sehingga sampai pada keadilan hakiki atau substantif? Di mana, seperti yang kita tahu, bahwa pengalaman perempuan baik secara biologis maupun sosial, tidak mungkin bisa kita temukan pada laki-laki. Sehingga, cara kita menyikapi dua jenis pengalaman inilah yang akan menentukan bagaimana kita memanusiakan perempuan.
Untuk itu Islam hadir dengan tidak memandang pengalaman perempuan sebagai urusan perempuan saja, tetapi laki-laki pun perlu peduli dalam hal ini. Tidak hanya itu, bahkan ayat tentang menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui, semua mengandung petunjuk untuk tidak membuat perempuan merasa terbebani, melainkan mendukung dan berbuat sesuatu untuk meringankan kesulitan yang dialami perempuan selama melalui pengalaman biologisnya.
Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 222
mengenai perempuan yang menstruasi :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya surat Al-Baqarah ayat 222 diriwayatkan oleh Muslim dan Turmuzi dari Anas bahwa orang-orang Yahudi berlaku tidak manusiawi kepada perempuan mereka. Saat perempuan Yahudi mengalami menstruasi, mereka tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah. Sehingga timbul pertanyaan dari sahabat-sahabat Nabi yang kemudian dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 222.. dan Nabi menjelaskan boleh melakukan apa saja selama perempuan (istri) menstruasi kecuali berhubungan seksual.
Kemudian pada
Surat At-Talaq Ayat 6 tentang memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya
meski telah ditalak :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”
Menurut Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah, dijelaskan bahwa Allah menganjurkan kepada para suami untuk perhatian dengan istri, Allah memerintahkan mereka para suami untuk memberikan tempat tinggal selama masa iddah di rumah-rumah mereka para suami yang para isti tinggal di dalamnya; Menurut kemampuan suami, dan wajib bagi kalian wahai suami untuk tidak menyempitkan mereka dalam tempat tinggal dan nafkah, sampai mengharuskan mereka untuk keluar dan meninggalkan hak-hak mereka, meskipun mereka dalam kondisi hamil, maka para suami mesti menafkahi mereka dengan nafkah yang patut sampai melahirkan anak mereka, dan jika mereka menyusui anak-anak mereka, maka kalian para suami harus memberikan upah kepada mereka, dan musyawarakanlah wahai para suami atas apa yang didasari dengan kebaikan yang tidak berbentuk kemungkaran. Maka jika ibunya menolak untuk menyusui anaknya, kecuali dengan upah yang besar, maka wajib bagi kalian wahai para suami untuk mencari perempuan lain yang mau menyusui anak kalian, begitu juga seandainya mereka menahan untuk tidak menyusui karena sebab ingin upah yang besar atau yang lainnya, kalian haru memusyawarahkannya, untuk dapat menyusui anak kalian.
Selain itu, dalam Islam pengalaman perempuan
juga tidak hanya dibahas sebagai topik, melainkan juga sebagai perspektif.
Karenanya, Islam memberi aturan khusus bagi perempuan menstruasi, hamil,
melahirkan, nifas dan menyusui dalam menjalankan ibadah, seperti shalat, puasa
dan haji.
Demikian pula, selama 23 tahun masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, beliau selalu berupaya membebaskan perempuan dari aneka bentuk ketiadakadilan. Misalnya, dengan memastikan bagian warisnya, nilai saksinya, bahkan hingga posisinya dalam perkawinan. Namun sayangnya, di kemudian hari pengalamaman perempuan tersebut hanya lazim dibahas sebagai topik dalam kajian-kajian, tidak lagi sebagai perspektif sehingga spirit pemanusiaan perempuan lambat laun mulai tereduksi.
Hal ini pastinya akan berdampak pada pengalaman sosial perempuan. Karena pengalaman biologis perempuan dianggap sebagai suatu kelemahan sehingga kesempatan perempuan untuk berperan lebih besar lagi di lingkungan sosialnya dibatasi. Bahkan perempuan yang aktif dalam ranah publik dilazimkan untuk memikul beban ganda dimana pekerjaan rumah tangga tetap menjadi tanggung jawab penuh oleh perempuan. Pilihan yang memang tidak adil bagi perempuan dan sudah seharusnya ditiadakan ketidakadilan gender antara perempuan dan laki-laki.
Oleh karenanya, sudah seharusnya kita meneladani Islam dalam menjadikan pengalaman perempuan tidak hanya sebagai topik namun juga sebagai perspektif. Lantaran pengalaman perempuan secara biologis merupakan bagian tak terpisahkan dari diri perempuan sebagai manusia. Begitu pun secara sosial, terbebas dari ketidakadilan gender juga menjadi prasyarat mutlak kemanusiaan perempuan. Karena, tanpa perhatian khusus pada kedua pengalaman perempuan tersebut, kearifan sosial, kebijakan negara bahkan kemaslahatan agama, hanya bisa sampai pada tataran legal formal saja, belum sampai pada tataran substansial.
Penulis: Wilujeng Nurani
Editor: Choris Satun Nikmah
0 komentar