Islam dan Keadilan Gender

Agama-agama pada hakikatnya hadir ke dunia untuk membebaskan. Seperti halnya Islam, membebaskan manusia dari belenggu kepercayaan kepada tuhan yang sifatnya lokal kepada Tuhan yang sifatnya universal. Agama-agama merupakan unsur paling subversif terhadap kemapanan kekuasaan, baik yang dibangun di atas otoritas ekonomi, politik, maupun agama, yang cenderung menindas dan eksploitatif. Kehadiran agama untuk membentuk masyarakat yang adil, egaliter, dan sejahtera.

Khusus, dalam wacana pembebasan perempuan merupakan konsekuensi logis dari komitmen teologis, bahwa hakikat agama adalah membebaskan kaum yang tertindas dan lemah. Pembebasan perempuan adalah sebuah keharusan, karena selama ini perempuan masih teraliensi dari ruang publik. Meskipun patriarki yang terjadi saat ini cenderung melunak dibanding sebelum gerakan emansipasi dikumandangkan. Namun, tetap saja budaya patriarki masih mengakar dalam budaya kita. Pembebasan perempuan pada akhirnya diharapkan bisa memecahkan setiap persoalan perempuan, terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan gender.

Perempuan merupakan salah satu dari kelompok ini. Praktek subordinasi dan marginalisasi sudah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Kemudian Islam membawa angin segar perubahan. Perempuan yang dahulu hanya dianggap barang, oleh Islam (Al-Quran) dirubah menjadi manusia terhormat yang berhak menerima hal-hal apa yang didapatkan laki-laki. Wacana pembebasan perempuan lahir ketika problematika perempuan dalam Islam hadir sebagai narasi yang mendiskreditkan posisi perempuan itu sendiri.

Islam datang ke jazirah Arab dengan membawa pesan-pesan revolusioner. Pun demikian, misi terutusnya nabi Muhammad ke Arab tidak lain hanya untuk menjadi rahmat bagi semesta. Muhammad membawa pesan-pesan revolusioner dari Allah yang terekam dalam Al-Qur’an dan terinstitusi dalam sebuah agama yang disebut Islam. Islam lantas hadir memberikan batasan-batasan sehingga perempuan terentas dari perlakuan buruk masyarakat yang menggenggam kuat budaya patriarki.

Memang, Islam tidak secara revolusioner melarang sama sekali poligami yang sudah sangat menimbulkan gejolak. Namun, ia memberikan ketentuan jumlah maksimal empat dengan syarat-syarat yang sangat ketat, yakni adil. Islam memerintahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam tidak hanya sekedar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos, makrokosmos, dan Tuhan.

Ketika berbicara masalah relasi antara laki-laki dan perempuan, Al-Qur’an menempatkan prinsip keadilan sebagai dasar epistemologisnya. Potensi individu laki-laki dan perempuan oleh Al-Qur’an tidak dibedakan, baik potensi dalam kapasitas sebagai hamba maupun sebagai makhluk sosial. Sifat egaliter Al-Qur’an terekam dalam beberapa ayat yang secara eksplisit menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan statusnya setara.

Setelah Islam datang, secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka. Perempuan boleh menjadi saksi dan berhak atas sejumlah warisan, meskipun keduanya hanya bernilai setengah dari kesaksian atau jumlah warisan yang berhak diterima laki-laki, dan boleh jadi dianggap tidak adil dalam konteks sekarang. Namun, pada prinsipnya jika dilihat pada konteks ketika perintah tersebut diturunkan, ini mencerminkan semangat keadilan. Artinya secara frontal ajaran Islam menentang tradisi Jahiliyah yang berkaitan dengan perempuan.

Secara historis, perempuan telah memainkan peranan yang sangat strategis pada masa awal maupun pertumbuhan dan perkembangan Islam, baik dalam urusan domestik maupun publik. Ini dibuktikan antara lain melalui peran perempuan dalam membantu perjuangan Rasulullah seperti di medan perang. Khadijah, istri Nabi yang sangat setia, misalnya, menghibahkan banyak harta bendanya untuk perjuangan Islam; Arwâ ibn Abd al-Muthalib yang meminta anak laki-lakinya agar membantu Nabi dan memberi apa saja yang dimintanya; dan Ummu Syurayk yang telah membujuk perempuan-perempuan Mekah secara diam-diam melakukan konversi dari agama pagan ke Islam.

Menurut Asghar, Al-Quran lah yang pertama kali memberikan perempuan hak-hak yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan dalam aturan yang legal.  Pada saat Al-Qur’an turun itulah untuk pertama kalinya keberadaan individu perempuan sebagai makhluk hidup diterima tanpa ada persyaratan. Perempuan dapat melangsungkan pernikahan, dapat meminta cerai kepada suaminya tanpa persyaratan diskriminatif, dapat mewarisi harta ayah, ibu, dan saudaranya yang lain, dapat memiliki harta sendiri dengan hak penuh, dapat merawat anak-anaknya hingga dewasa, dan dapat mengambil keputusan sendiri.

Seperti telah disebutkan di muka, problematika yang terjadi adalah sebuah problemtika yang tak bisa dilepaskan dari bagaimana perempuan memposisikan dirinya dalam sebuah kelompok kecil ataupun keluarga. Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa pandangan yang membatasi perempuan pada persoalan rumah tangga adalah pandangan yang tidak Qur’ani.

Mengenai ayat Alquran “al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’” (QS. al-Nisa’ (4): 34) Asghar mengatakan, kata qawwam dalam ayat itu berarti pemberi nafkah dan pengatur urusan keluarga, dan Alquran tidak mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwām. Menurutnya, jika Allah memaksudkan ayat tersebut sebagai sebuah pernyataan normatif, maka pastilah hal itu akan mengikat semua perempuan di semua zaman dalam semua keadaan. Namun, Allah tidak menghendaki hal tersebut (Engineer, 1994: 63).

Bagi Asghar Ali Engineer, seorang perempuan dapat memainkan peranan apapun dalam hidup (termasuk juga dalam kehidupan  keluarga) tanpa melanggar hudud Allah. Dalam ekonomi industrial modern, dalam pandangan Asghar Ali Engineer, perempuan harus memainkan peranan yang semakin besar. Mereka harus bekerja untuk menjamin kehidupan keluarga yang sejahtera. Yang dituntut Al-Qur’an adalah laki-laki harus menafkahi istrinya sebagai balasan kepada istri yang telah memelihara anak.

Secara keseluruhan, Al-Qur’an pada dasarnya mengakui keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keluarga, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 23 yang menyatakan bahwa janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.

Keadilan laki-laki dan perempuan dilihat secara garis besar dan dalam berbagai aspek yaitu, laki-laki dan perempuan statusnya sama sebagai hamba, laki-laki dan perempuan mendapatkan ganjaran yang setara dari apa yang diperbuat, kesetaraan dalam penciptaan, dan kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Empat aspek tersebut menunjukkan bahwa status antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dan dinafikkan semangat keadilannya.

Penulis          : Madfungs

Editor            : Yolanda Eka Safitri

0 komentar