Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU P-KS) telah diajukan sejak awal tahun 2017 pada DPR periode 2014 -2019.
Namun hingga saat ini RUU P-KS tak kunjung dibahas dan berakhir dikeluarkannya
RUU P-KS dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 pada Sidang
Paripurna Kamis, 16 Juli 2020. Keputusan yang diambil oleh DPR membuat sebagian
besar masyarakat meradang, khususnya para penyitas korban kekerasan seksual,
aktivis perempuan, akademisi, mahasiswa maupun buruh perempuan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(PPPA) periode lalu, Yohana Yembise menyatakan kekecewaannya terhadap DPR
karena tidak mampu merealisasikan penghapusan kekerasan seksual melalui RUU
P-KS hingga berakhirnya masa jabatan anggota DPR. Ia mengkhawatirkan jika tak
segera disahkan, maka angka kekerasan seksual akan semakin meningkat. Seperti
apa yang telah diprediksi Yohana, saat ini sudah banyak terjadi kasus-kasus
kekerasan seksual dari berbagai daerah yang jumlahnya meningkat.
Namun dalam perjuangan RUU P-KS untuk dapat disahkan
masih menimbulkan polemik oleh segelintir masyarakat. Banyak masyarakat salah
mengartikan pasal-pasal yang ada di dalam RUU P-KS sehingga terjadinya salah
persepsi. Alih-alih mendukung untuk penghapusan kekerasan seksual, justru RUU
P-KS dianggap bukanlah solusi yang baik. Hal ini karena dikaitkan isu bahwa RUU
P-KS pro LGBTQ, pro zina dan pro praktik aborsi. Tapi, betulkah demikian? Berikut
penjelasannya :
1. RUU
P-KS Pro LGBTQ
Dalam beberapa
berita yang tersebar, segelintir masyarakat menganggap pasal1 dalam RUU P-KS
dapat melegalkan hubungan LGBTQ. Isi pasal 1 RUU P-KS yaitu:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Segelintir masyarakat yang menolak RUU P-KS menganggap kata hasrat seksual mengandung bias makna. Kata ini dianggap berpotensi melegalkan hubungan sesama jenis atau LGBTQ melalui pasal ini. Asumsi ini terlihat subjektif tanpa melihat dari sisi lainnya secara keseluruhan.
Pada pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pasal tersebut bisa disimpulkan bahwa Negara hanya menjamin atau melegalkan hubungan hanya antara pria dan wanita. Bagaimana bisa RUU P-KS dianggap melegalkan LGBTQ sedangkan dalam UU Perkawinan sendiri tidak mengatur hal demikian.
Perlu ditekankan, RUU P-KS mengatur hal-hal yang tidak atau belum diatur dalam KUHP maupun undang-undang lainnya. Sehingga dalam UU Perkawinan diatur mengenai suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan, maka sesungguhnya RUU P-KS tidak harus mengatur hal yang serupa. Mengingat titik fokus RUU P-KS adalah pada penghapusan kekerasan seksual dan juga korban yang mengalaminya.
2. RUU
P-KS Pro Zina
Masih dalam pasal 1 RUU P-KS, dalam pengertian kekerasan seksual pada frasa secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, diartikan segelintir masyarakat bahwa jika adanya persetujuan antara kedua belah pihak, maka hal ini dapat membebaskan hubungan seks diluar perkawinan atau zina termasuk juga pelacuran.
Mengenai zina, hal
ini sudah diatur di dalam pasal 284 KUHP juncto pasal 27 KUHPerdata. Sedangkan
pelarangan pelacuran telah diatur dalam 298 KUHP.
Pada RUU P-KS sendiri diatur mengenai eksploitasi seksual yang menguntungkan pelaku (Pasal 13) dan pemaksaan pelacuran (Pasal 18). Sehingga sangat keliru jika RUU P-KS dianggap melegalkan zina, padahal RUU P-KS secara tegas melindungi mereka yang menjadi korban akibat dari eksploitasi dan pemaksaan pelacuran.
3. RUU
P-KS Pro Praktik Aborsi
Dalam RUU P-KS
pada pasal 15 adanya pengaturan mengenai pemaksaan aborsi yaitu:
Pemaksaan aborsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d adalah kekerasan yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.
Bagi segelintir masyarakat memahami bahwa selama adanya persetujuan dari pihak perempuan (yang mengandung) maka aborsi diperbolehkan. Padahal ketentuan aborsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pada pasal 75 dan masih berlaku hingga saat ini. Aborsi hanya diperbolehkan pada korban pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan dan pada ibu yang mengancam keselamatan jiwanya. Ketentuan aborsi pun sangat ketat, karena memperhatikan batas usia kandungan yang diperbolehkan aborsi yaitu belum genap berusia 6 minggu.
Setelah apa yang telah diuraikan maka sangatlah keliru menganggap RUU P-KS bukanlah solusi untuk mengurangi kasus kekerasan seksual. Kekeliruan dalam berpikir terjadi akibat masih banyaknya masyarakat yang mengabaikan fokus utama pada korban. Selain mengatur perlindungan korban dari segala bentuk kekerasan seksual, RUU P-KS juga mengatur hak pemulihan bagi korban secara fisik, psikologis, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk ganti rugi (Pasal 26).
Penulis: Yolanda Eka Safitri
Editor: Wilujeng Nurani
0 komentar