Nalar Kritis Muslimah: Tubuh Perempuan Milik Siapa?

Pembahasan mengenai kaum perempuan zaman dahulu memang masih menjadi topik yang menarik hingga saat ini. Lantaran, kita bisa melihat bagaimana relasi (hubungan) yang tercipta antara laki-laki dan perempuan pada saat itu. Di mana ketika Islam hadir, keadaan perempuan di tengah masyarakat Jahiliyah masih begitu mengenaskan. Bukan hanya diperlakukan layaknya hewan, mereka juga seringkali dianggap bagaikan benda mati. Misalnya seperti, bayi perempuan biasa dikubur hidup-hidup, dipoligami dengan jumlah istri tak terbatas dan tanpa syarat adil, dinikahi oleh saudara sedarah dan lain sebagainya.

Dengan realitas yang semacam itu, di mana kesan misoginis (kebencian terhadap perempuan) begitu kental mewarnai kehidupan masyarakat Jahiliyah. Maka, Islam pun hadir untuk membebaskan perempuan dari segala tindakan yang selama ini menindas mereka dan cenderung menjadikan mereka sebagai kelompok kelas dua.

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan secara mutawatir (bersambung) sesuai dengan keadaan zaman pada waktu itu. Al-Qur’an berisi mengenai berbagai hal, mulai dari masalah ibadah, amaliyah (perbuatan) manusia, kisah-kisah umat terdahulu, sejarah hingga ilmu pengetahuan. Di bawah ini, beberapa ayat Al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab keadaan masyarakat Jahiliyah pada saat itu:

1. Bayi perempuan dikubur hidup-hidup, kemudian diturunkan QS. An-Nahl: 58-59 yang  menggambarkan keadaan masyarakat Jahiliyah dan Allah telah menyampaikan alangkah buruknya perbuatan mereka itu.

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.

2.  Dipoligami dengan jumlah tak terbatas dan tanpa syarat adil, kemudian turunlah QS. An-Nisa: 3 yang membatasi maksimal empat istri dengan syarat adil dan mendorong monogami.

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap  (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.

3. Perempuan-perempuan diwariskan, kemudian turun QS. An-Nisa: 19 yang melarang keras mewariskan perempuan kepada siapapun.

Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”.

4. Perempuan-perempuan dinikahi saudara sedarah, lalu diturunkanlah QS. An-Nisa: 23 yang mengharamkan menikahkan perempuan dengan saudara sedarah dalam keadaan apapun.

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Tradisi seperti di atas, sebenarnya tidak hanya ditemukan pada masyarakat Jahiliyah, melainkan umum terjadi di mana-mana. Bahkan, hingga saat ini masih santer terdengar tradisi honor killing yang kebanyakan korbannya adalah perempuan. Mereka dibunuh oleh keluarganya sendiri lantaran dianggap mencemarkan nama baik keluarga.

Dalam situasi seperti di atas, lantas siapakah pemilik tubuh perempuan? Betul, tubuh perempuan adalah milik mutlak laki-laki.

Dengan cara pandang yang demikian, kemudian Tauhid dalam Islam mengubah secara revolusioner kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Di mana laki-laki dilarang menuntut perempuan untuk tunduk kepadanya, sebab sebagai sesama hamba Allah SWT, keduanya hanya boleh tunduk mutlak kepada-Nya. Terlebih dengan amanah dari Allah yang menjadikan keduanya sebagai khalifah fil ardh, maka laki-laki dilarang menuntut perempuan untuk mengabdi pada kemaslahatan mereka saja, melainkan harus bersama-sama mengabdikan diri demi kemaslahatan seluruh mahkluk-Nya di muka bumi.

Prinsip dasar tauhid ini, kemudian menjadi jawaban tentang siapakah pemilik mutlak tubuh perempuan? Tubuh perempuan, sebagaimana tubuh laki-laki adalah milik Allah SWT. Keduanya hanya boleh menggunakan tubuhnya dan tubuh-tubuh orang lain secara bermartabat, yaitu diperbolehkan agama (halal), baik (thayyib) dan pantas (ma’ruf). Dengan demikian, maka manusia mampu membuat tubuhnya maslahat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Jadi, tubuh laki-laki dan perempuan adalah milik Allah. Dan setelah milik Allah, tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri, pun dengan laki-laki. Sehingga dengan begitu, keduanya akan bertanggung jawab atas penggunaannya. Di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) kelak, tubuh manusia akan bersaksi langsung di hadapan Allah atas apa yang mereka lakukan selama di dunia.

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”. (QS. Yasin: 65).

Penulis: Wilujeng Nurani

Editor: Yolanda Eka Safitri

0 komentar