Patriarki dan Perempuan yang Berpendidikan Tinggi

Menjadi perempuan yang kemudian memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi memang bukan hal mudah, bahkan kerap kali dianggap hal yang tidak lumrah. Hal ini terjadi lantaran banyak ketakutan yang dihadapi oleh perempuan, terutama takut menjadi single seumur hidup. Terlebih dengan banyak orang yang menganggap bahwa perempuan dengan banyak gelar di belakang namanya akan membuat laki-laki tidak mempunyai nyali untuk mendekatinya.

Benarkah demikian? BIG NO, girls!

Jangan sia-siakan impianmu hanya karena takut tidak mendapatkan pasangan.

Meskipun tidak bisa dipungkiri, pola pikir semacam itu pasti sering kita jumpai, terlebih dalam lingkungan kita yang masih sangat patriarkis. Seolah-olah pendidikan hanya dipenuhi mata dan pikiran laki-laki, sehingga jika ada perempuan yang merebut sedikit ruang itu, mereka menjadi tidak nyaman bahkan merasa sangat terganggu.

Sebelum jauh membahas lingkungan luar, sadar tidak sadar, keluarga yang merupakan lingkungan terdekat dari kita pun sama. Tidak ada ada dukungan dari mereka bagi perempuan yang memutuskan berpendidikan tinggi, menurut mereka itu hanya sia-sia dan buang-buang duit saja. Toh, nantinya tugas perempuan di dapur, sumur dan kasur. Ya, kurang lebih seperti itu dalih yang santer kita dengar.  

Alih-alih ada perempuan yang diberi leluasa untuk berpendidikan tinggi, motifnya tetap sama, patriarkis. Dalam bukunya yang berjudul Membunuh Hantu-Hantu Patriarki, Dea Safira menceritakan kisahnya sebagai salah satu perempuan yang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, dirinya juga merasa sangat didukung oleh keluarganya, tetapi motif dari dukungan itu tidak lebih agar dirinya bisa mendapat pasangan yang terpandang.

Pendidikan bagi perempuan hanya dijadikan sebagai instrumen untuk mencari pasangan, bukan menjadi suatu hak murni yang dimiliki oleh perempuan. Bukan juga menjadi suatu hal berguna yang akan digunakan oleh perempuan untuk berkarya dan bermanfaat bagi orang sekitar.

Menyedihkannya lagi, sejauh dan sesukses apapun pendidikan yang ditempuh oleh perempuan, tak akan pernah sebanding jika ia belum menikah. Karena, pernikahan tetap dijadikan sebagai tolak ukur kesuksesan perempuan. Berbeda dengan laki-laki yang malah justru semakin dihargai jika tingkat pendidikannya semakin tinggi.

Masalah lainnya, jika perempuan berpendidikan tinggi telah menikah dan tetap berkarir akan menjadi cemoohan orang-orang. Karena setinggi apapun pendidikan perempuan, karir terbaiknya adalah menjadi ibu rumah tangga. Belum lagi perempuan yang telah menikah diharapkan mempunyai keturunan secepatnya.

Begitulah cara sistem patriarki berjalan. Perempuan tak akan pernah mendapatkan tempat yang layak, sekalipun usaha kerasnya melebihi dari usaha yang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan tak pernah dihargai kecuali dia memposisikan dirinya di bawah laki-laki.

Menghancurkan budaya patriarki yang begitu melekat di lingkungan kita memang tidaklah mudah. Namun bukan juga sesuatu yang tak mungkin terjadi. Untuk itu, kita perlu melakukan perubahan sekecil apapun dari diri kita sendiri terlebih dahulu. Setelah itu, kita bisa memulai mengedukasi orang sekitar kita mengenai prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Menjadi perempuan berpendidikan tinggi merupakan hak. Setelahnya, ia berhak untuk berkarya, berkreasi dan berinovasi sesuai kemampuan yang dimiliki. Bahkan, ia berhak duduk di kursi pemerintahan mewakili perempuan lainnya untuk menyuarakan aspirasi, hingga menjadi bagian dari perubahan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang ideal.

Penulis: Wilujeng Nurani

Editor: Yolanda Eka Safitri

0 komentar