Demokrasi adalah bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang paling digandrungi di abad ini. Sejak Perang Dunia II gejala demokrasi secara formal menjadi dasar dari kebanyakan negara di Dunia (Budiharjo, 2013:105). Termasuk Indonesia, sejak merdeka Indonesia langsung menganut sistem demokrasi, walaupun dalam sejarahnya pelaksanaan sistem ini menuai banyak kompilasi. Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demos dan Kratos yang diartikan sebagai kedaulatan rakyat atau kekuasaan berada di tangan rakyat. Mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln mengartikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sementara Affan Ghaffar berpendapat bahwa demokratis atau tidaknya suatu negara dilihat dari beberapa prinsip demokrasi, antara lain: adanya Akuntabilitas, Rotasi Kekuasaan, Rekruitmen Politik, Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Manusia seperti berpendapat, erkumpul, berserikat, memilih dan dipilih, serta menikmati pers yang bebas atau yang biasa disebut dengan HAM.
HAM adalah hak dasar setiap manusia yang melekat pada dirinya sejak ia dilahirkan ke dunia. HAM menjadi isu internasional yang hangat dibicarakan sejak berakhirnya Perang Dunia II (Awaluddin, 2012;3). Masyarakat internasional sering mengkampanyekan pentingnya HAM termasuk di dalamnya adalah kesetaran Gender. Gender merupakan konsrtuksi sosial yang dibangun masyarakat dalam mendeskripsikan peran laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin secara biologis (Mosse, 1992:2). Isu kesetaran gender mulai berkembang di Indonesia sejak reformasi 1998. Puncak perhatiannya adalah ketika adanya kebijakan Affirmatif Action yaitu kuota minimal calon legislatif perempuan tiap partai dalam setiap daerah pemilihan. Melalui kebijakan tersebut kaum perempuan mulai dilirik untuk menjadi calon legislatif walaupun kebanyakan hanya sekedar menjadi pelengkap pemenuhan syarat kelolosan partai semata
Sayangnya kesempatan ini tidak berimbang dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa sejak tahun 2009 hingga 2016 terdapat 421 kebijakan yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Di sisi lain, selama pemilu yang telah berlangsung jumlah perempuan dalam parlemen belum pernah memenuhi menyentuh prosentase 30% dari jumlah kursi anggota legislatif. Misalnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) perempuan periode 2019-2024 hanya mampu mencapai angka 20,5% yaitu terdapat 118 anggota perempuan dari 575 anggota DPR RI yang lainnya.
Affirmative Action atau tindakan afirmatif adalah kebijakan yang bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu (gender atau profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok lain dalam suatu bidang yang sama. Dapat pula diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok atau golongan tertetentu. Dalam konteks politik, tindakan ini dilakukan untuk mendorong jumlah perempuan dalam lembaga legislatif agar lebih representatif. Melalui undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah menyatakan tindakan afirmatif bagi perempuan. Ketentuan itu mengaharuskan dalam daftar calon legislatif harus ada 30% keterwakilan perempuan. Juga dilengkapi dengan sistem zipper yaitu sistem penomor urutan caleg dimana dalam selang 3 caleg laki-laki harus terdapat satu caleg perempuan. Menurut Tom Chambell (Sayuti, 2013: 42) menyatakan bahwa affirmative action merupakan kebijakan yang dikeluarkan untuk grup tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskriminasi.
Sebenarnya kebijakan ini bukan hanya berkaitan dengan dunia politik saja, dapat berupa di bidang pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan sosial. Misalnya affirmative action dalam dunia ketenagakerjaan di Amerika Serikat masa pemerintahan Presiden Johnsons, sistem kuota bagi ras kulit hitam dan kulit putih di Universitas Brazil, the Canadian Employement Equality Act yang memerintahkan industri untuk membuat peluang khusus bagi empat kelompok masyarakat meliputi: Perempuan, Masyarakat tidak Mampu, Masyarakat Aborgini dan Kelompok Minoritas (Sayuti, 2013: 42). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa affirmative action merupakan suatu kebijakan khusus untuk memberikan peluang kepada kelompok tertentu guna mendapatkan keadilan dan kesetaran. Dalam dunia politik, affirmative action ini erat kaitanya dengan representasi perempuan dalam suatu parlemen.
Sistem ini diharapkan akan membawa perubahan berupa: a.) kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender yang adil; b.) perubahan cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan bebagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan; c.) perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukan kebutuhan kebutuhan perempuan sebagai bagian dari agenda nasional; dan d.) membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai permasalahan yang selama ini tidak mendapat perhatian di Indonesia yang sensitif gender.
Dengan demikian, sebenarnya sistem demokrasi memiliki keberpihakan tersendiri terhadap perempuan. Melalui upaya pemenuhan Hak asasi manusia dan dorongan khusus (affirmative action) pada kaum minoritas dalam dunia politik seharusnya dapat menjamin kesejahteraan perempuan dalam negara demokrasi. Namun saat ini, tepat pada Hari Kemerdekaan Indonesia ke-75 kesejahteraan perempuan di negara ini masih perlu untuk diragukan. Banyak kebijakan yang diskriminatif bahkan tidak berpihak pada perempuan. Salah satu contohnya yaitu tersendatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Referensi
Awaludin, Hamid. 2012. HAM: Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Budiharjo, Miriam. 2013. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mosse, Julia Cleves. 1992. Gender dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Pelajar
Sayuti, Hendri. 2013 Hakikat Affirmative Action dalam Hukum Indonesia (Ikhtiar Pemberdayaan Yang Terpinggirkan). Menara, Vol. 12 No. 1.
Kompas.com
Penulis: Choris Satun Nikmah
Editor: Wilujeng Nurani
0 komentar