Gaji Istri Lebih Tinggi adalah Biang Keladi Perceraian, Benarkah?

Alohaa Kartini, beberapa hari lalu ada kabar yang cukup mengusik kuburmu bukan? Katanya di kota kelahiranmu banyak calon janda baru loh, dan yang lebih mencengangkan lagi adalah gaji istri lebih tinggi dari suami dituduh sebagai dalang penyebabnya.



September 2021, Pengadilan agama di Kabupaten Jepara mencatat jumlah perkara kasus perceraian di sana mencapai 2.097 kasus. Pengajuan cerai dari pihak istri sebanyak 1.262 kasus, cerai talak 379 kasus, dan angka dispensasi 399 kasus. Dari data tersebut kasus gugat cerai dari istri adalah perkara terbanyak. Disisi lain terdapat pendapat seorang pejabat daerah, sebagai berikut:

"Pertengkaran terus menerus dan ekonomi. Kita lihat sebelum dulu ada perusahaan itu cerai gugat sedikit karena istri masih di rumah manut gitu ya sedangkan memberikan nafkah itu suami," (news.detik.com, diakses pada 03/10/21)

Berdasarkan pernyataan tersebut, pertengkaran dan faktor ekonomi adalah penyebab utama perceraian, namun pendapat itu diikuti justifikasi bahwa saat istri belum memiliki penghasilan, “masih di rumah” dan “manut” pada suami kasus cerai tidak sebanyak saat ini. Kata manut inilah yang menimbulkan kesan bahwa istri harus selalu di rumah dan manut pada suami agar tidak ada perceraian. Hal ini akhirnya menimbulkan beragam pertanyaan, seperti Apakah seorang istri tidak boleh bekerja? Apakah istri yang berpenghasilan justru berdampak negatif pada kesejahteraan keluarga? Apakah seorang istri hanya boleh dirumah saja?

Kartini bukankah pemikiranmu lah yang memprovokasi perempuan untuk sepenuhnya menjadi manusia. Mendapatkan hak-hak dasar sebagai manusia yang utuh. Kartini, bukankah manusia itu boleh bekerja dan mendapatkan upah atas pekerjaannya? Lalu apakah menjadi istri itu berarti ia sudah bukan manusia? Entahlah Kartini, ternyata sampai saat ini pun pemikiran kolot yang kau lawan masih subur hingga sekarang.

"Sedangkan ada perusahaan ini istri bisa bekerja sendiri dan gaji lebih besar gaji sendiri dibanding dengan suami. Sehingga kadang-kadang yang terjadi adalah karena merasa mampu dan kuat membeli sendiri apalagi kalau kemudian suami gaji sedikit dikasih sedikit pula. Sehingga hal-hal demikian istri tidak terima dengan kelakuan oleh suaminya itu," (news.detik.com, diakses pada 03/10/21)

Kartini, andai saja kota kelahiranmu yang kecil itu adalah pusat pemerintahan nan banyak gonjang-ganjing intrik kekuasaan. Pasti saat ini, pendapat kolot itu sudah dilawan habis-habisan oleh para aktivis gender dan HAM. Mendapatkan pekerjaan dan upah atas pekerjaan itu adalah hak setiap orang. Laki-laki ataupun perempuan, suami ataupun istri. Sehingga tinggi gaji yang dituduh sebagai biang keladi perceraian adalah sebuah logical fallacy atau kesesatan dalam berfikir. 

Pendapat seperti ini akan berbahaya jika dijadikan panutan masyarakat, terlebih disampaikan oleh seorang pejabat daerah yang memiliki privilege sebagai tokoh masyarakat. Disisi lain, banyak istri yang bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan terkadang tak ada pilihan lain selain ikut mencari nafkah. Pada lingkungan budaya patriarki tugas-tugas domestik masih diidentikkan sebagai kewajiban seorang istri yang justru menjadikannya memiliki double burden/ beban ganda. Sekali lagi, menjadikan tingginya gaji istri sebagai penyebab utama perceraian adalah suatu hal yang tidak tepat.

Faktanya faktor penyebab perceraian terbanyak adalah perihal Masalah pertengkaran yaitu 706 kasus, faktor ekonomi 633 kasus, dan 163 kasus perceraian terjadi karena adanya salah satu pihak yang meninggalkan.  Selain itu, perkara kasus cerai di Jepara akan semakin kompleks jika mengaitkan dengan tingginya angka kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan pernikahan dini. Lagi pula, sebuah keberanian mengajukan Cerai bukankah pertanda  kemajuan akal seorang istri agar tidak terus terbelenggu dalam rumah tangga yang menyesakkan? 

Kartini, ternyata memerankan peran sebagai istri di Kota kelahiranmu cukup berat ya, dan nyatanya pemikiran kolot itu masih ada. Kartini, jangan dulu kau segera bangkit dari kuburmu. biarlah jiwa-jiwa baru meneruskan perjuanganmu. Beristirahatlah dengan tenang Kartini, sesekali kami akan bercerita lagi perihal perempuan padamu. 

Penulis: Choris Satun Nikmah

Editor: Wilujeng Nurani

0 komentar