Kiat-Kiat Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus


Isu Kekerasan Seksual semakin marak diperbincangkan setelah mencuatnya Pro-Kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual atau disingkat RUU P-KS. Sayangnya, saat ini status RUU P-KS justru dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Di sisi lain jumlah kasus kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahun menggambarkan sebuah ironi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Kampus yang dimaksud adalah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta ternyata tidak luput dari ancaman kekerasan seksual.

Jika kita flashback ke belakang, beberapa kasus kekerasan seksual yang pernah viral antara lain: Pertama, Kasus Agni seorang mahasiswi UGM. Kedua, Kasus Dosen Mesum FIB Undip. Ketiga, Kasus kekerasan seksual oleh Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara. Beberapa kasus yang disebutkan tersebut menunjukkan bahwa perguruan tinggi sebagai institusi tempat orang-orang yang terdidik dan terpelajar dengan pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi masih tidak terhindar dari bahaya kekerasan seksual. Dan penulis yakin bahwa sebenarnya masih terdapat banyak kasus seperti diatas namun korban cenderung bungkam dengan alasan menjaga nama baik instansi dan memilih jalan damai. Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa dalam kasus Dosen-mahasiswa, stigma yang negatif terhadap korban yang seringkali disalahkan baik dari segi pakaian atau perilaku, hingga belum adanya regulasi khusus dari kampus untuk mengatur hal yang seperti ini. Sehingga dalam berbagai kesempatan kekerasan seksual masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diatur keberlanjutannya.

Sebenarnya terdapat beberapa kampus atau perguruan tinggi yang sudah mempunyai regulasi khusus untuk mengatur permasalahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Contoh: Universitas Padjajaran yang megeluarkan Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Setelah mencuatnya kasus Agni, birokrasi kampus UGM juga akhirnya mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 1 tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat Universitas Gadjah Mada

Lalu sekarang bagaimana cara kita sebagai mahasiswa, sebagai role model, agen of change, agen of control, terlebih para pengaku aktivis yang selalu membawa isu-isu populis untuk memberikan perhatan khusus pada isu kekerasan seksual? Di bawah ini penulis rumuskan beberapa kiat-kiat atau usaha yang dapat kita lakukan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di Lingkungan Kampus. Upaya pencegahan yang dapat diakukan antara lain, yaitu:

Pertama, perbanyak edukasi tentang kekerasan seksual. Masyarakat kampus perlu mengenal lebih dalam apa itu kekerasan seksual, bagaimana data dan perkembangannya di Indonesia, apa dampak yang ditimbulkan, dan mungkin dapat melakukan kajian lebih dalam tentang apa sebenarnya yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Kekeraan Seksual yang selalu menjadi bahan perbincangan, apa yang menjadi Pro-Kontra dalam RUU tersebut.

Kedua, pencarian data yang relevan. Sebagai mahasiswa tentu saja kita tidak boleh berbicara tanpa dasar yang jelas. Data kekerasan seksual baik nasional maupun internal kampus akan sangat diperlukan untuk memperjuangkan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual nantinya. Sebaiknya data ni dihimpun melalui Lembaga Kemahasiswaan ynag berwenang dalam bidang ke-advokasi-an.

Ketiga, Advokasi atau perjuangkan regulasi tentang kekerasan seksual. Diatas sudah penulis contohkan beberapa Universitas yang memiliki regulasi khusus tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Kampus. Lebih baik lagi jika kita mampu membangun relasi dengan aktor yang pernah terlibat dalam upaya ini. Selama belum ada regulas khusus tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual maka selama itu pula kekerasan seksual masih menjadi suatu hal yang tabu dan abu-abu baik untuk dibahas. Hal ini akan berdampak pada kurangnya keadilan yang akan didapatkan oleh korban serta pelaku tidak memiliki efek jera.

Keempat, Branding Media. Hal ini tentu sangat diperlukan untuk mentranfer pengetahuan dan membentuk opini khalayak pada upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Media juga dapat digunakan sebagai jalur edukasi instan kepada masyarakat kampus akan pentingnya pengetahuan tentang kekerasn seksual.

Ketika kalian menemukan kejadian kekerasan seksual, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah menjadi pendengar yang baik dan jangan lupa gunakan prespektif korban, jangan menyalahkan korban ataupun cara berpakaiannya. Biarkan korban menceritakan sesaknya terlebih dahulu, setelah itu tanyakan apa yang dia inginkan. Lakukan upaya healing baik fisik maupun psikis jika perlu temani dan dampingi korban dalam upaya advokasi diri.

Upaya pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual bukanlah hal yang mudah untuk ditangani, sehingga diperlukan strategi khusus untuk dapat memberikan keadilan bagi korban, maka dari itu diperlukan adanya sinergi antar lembaga kemahasiswaan, tenaga kependidikan, maupun organisasi mahasiswa ekstra kampus (KOHATI, KORPRI, IPPNU) untuk sama-sama fokus pada isu kekerasan seksual.

 

Penulis: Chori Satun Nikmah

Editor: Yolanda Eka Safitri

 

 

0 komentar