Cara pandang dikotomis pada laki-laki dan perempuan merupakan salah satu tantangan serius dalam ikhtiar mewujudkan keadilan gender. Perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat sebagai sebuah pertentangan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, salah satu pihak harus menaklukkan pihak lain. Jika tidak, maka ia yang akan ditaklukan. Begitulah kiranya andil besar sistem patriarki dalam cara pandang dikotomis ini. Di mana, laki-laki diletakkan secara superior, sedangkan perempuan inferior sebagai pengabdi mereka. Sehingga, nilai perempuan ditentukan oleh sejauh mana ia memberi manfaat pada laki-laki.
Tidak hanya itu, cara pandang dikotomis juga dapat melahirkan stigmatisasi pada perempuan. Misalnya, perempuan dianggap sebagai sumber kekacauan (fitnah) sehingga laki-laki seringkali mendapatkan masalah. Laki-laki memperkosa karena perempuan berbaju mini. Kalaupun mereka telah menutup seluruh tubuh, perilaku merekalah yang dianggap mengundang pemerkosaan laki-laki, yaitu ketika mereka berada di luar rumah pada malam hari. Jadi kesimpulannya, ketika laki-laki melakukan tindakan yang salah dan membahayakan perempuan, kesalahan tetap ada pada perempuan.
Dengan lahirnya stigmatisasi tersebut, maka tidak menutup kemungkinan akan lahir ketidakadilan gender berikutya, yaitu marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda. Dari sinilah, perbedaan jenis kelamin dijadikan sebagai sebuah alasan untuk melemahkan perempuan dan sebaliknya, mengukuhkan superioritas laki-laki. Lebih jauh lagi, cara pandang dikotomis seperti ini, nantinya akan mempengaruhi sistem kehidupan yang melibatkan keduanya di berbagai level, bahkan dampak negatifnya akan merata dari kehidupan pernikahan dan keluarga, masyarakat dan negara, hingga global.
Padahal, perlu ketahui bahwa cara pandang dikotomis pada perbedaan laki-laki dan perempuan ini tidak hanya berbahaya bagi perempuan melainkan juga pada laki-laki. Mengapa? Karena, konsep sistem kerja patriarki yaitu siapa pun yang lebih kuat boleh menindas yang lebih lemah. Laki-laki yang kuat boleh menindas perempuan yang lemah, pun sebaliknya, perempuan yang kuat boleh menindas laki-laki yang lemah. Bahkan, perempuan yang kuat dibenarkan melakukan penindasan pada perempuan yang lebih lemah.
Untuk itu, sebenarnya dikotomi bukanlah satu-satunya cara pandang pada perbedaan, sebab perbedaan dapat pula dipandang secara sinergis. Lantaran, perbedaan bahkan keragaman bukanlah sumber konflik, melainkan modal sosial untuk maju bersama. Jadi, perbedaan yang dibawa manusia sejak lahir, seperti jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, warna mata maupun perbedaan yang datang kemudian, seperti tingkat kekayaan, kepandaian, kedudukan, dan lain sebagainya, tidak seharusnya dijadikan sebagai suatu alasan bagi yang kuat untuk berlaku sewenang-wenang pada yang lebih lemah.
Berbeda dengan cara pandang dikotomis, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam cara pandang sinergis tidak melulu dipandang sebagai sumber konflik, melainkan dipandang sebagai modal sosial untuk maju bersama sebagai manusia. Karena sejatinya, kekuatan atau kelebihan manusia itu bersifat dinamis. Sehingga, jenis kelamin tertentu tidak selalu lebih unggul daripada jenis kelamin lainnya, sepanjang usia kehidupan.
Dengan demikian, Islam mengubah cara pandang dikotomis antara laki-laki dan perempuan menjadi sinergis. Pesan memanusiakan manusia dalam tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya sebagaimana laki-laki (QS. Al-Hujuraat: 13), sehingga mereka juga harus diperlakukan secara manusiawi. Perbedaan keduanya tidak boleh dijadikan alasan untuk melemahkan, melainkan harus dipandang sebagai kekuatan bersama dalam menjalani misi hidup. Karenanya, tauhid mempunyai cara pandang yang bertentangan dengan sistem patriarki.
Selain itu, tauhid juga membawa cara pandang baru pada status, kedudukan, peran dan nilai laki-laki dan perempuan. Pertama, perempuan tidak diciptakan dari laki-laki. Asal-asul penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu secara ruhani diciptakan dari diri yang satu atau nafsin wahidah (QS. An-Nisaa: 1) dan secara jasmani sama-sama diciptakan dari bahan serta proses yang sama (QS. Al-Mu’minuun: 12-14). Kedua, laki-laki bukanlah makhluk primer dan perempuan juga bukan makhluk sekunder. Karena, keduanya makhluk primer ketika mengemban amanah sebagai khalifah fil ardh atas seluruh makhluk Allah SWT, dan keduanya makhluk sekunder di hadapan Allah SWT ketika mengemban status sebagai hamba-Nya. Ketiga, perempuan tidak mengabdikan hidup untuk kemaslahatan laki-laki, karena keduanya hanya mengabdikan hidup pada Allah SWT demi kemaslahatan hamba-Nya. Keempat, perempuan tidak tunduk mutlak untuk melaksanakan perintah laki-laki, keduanya mesti bekerja sama melaksanakan perintah Allah SWT, mewujudkan kemaslahatan bersama. Kelima, kualitas laki-laki dan perempuan sebagai manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh ketakwaan yang ditandai oleh seberapa jauh hidup memberi manfaat pada kemanusiaan.
Penulis: Wilujeng Nurani
Editor: Yolanda Eka Safitri
0 komentar