
Film India berjudul Dangal diangkat dari kisah nyata dari seorang pegulat laki-laki bernama Mahavir Singh Phogat. Mahavir ditakdirkan memiliki empat anak perempuan, dimana kelak dua orang putri tertuanya dilatih keras untuk menjadi pegulat profesional. Film ini juga menyajikan intrik bagaimana stigma yang melekat di masyarakat mengenai ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki.
Kisah
dimulai dengan cerita Mahavir semasa muda sebagai pegulat nasional. Ia sudah
memenangkan banyak pertandingan, baik tingkat daerah maupun nasional. Namun
cita-citanya untuk menjadi pegulat professional harus terhenti karena kedua
orangtuanya tidak merestuinya. Sehingga ia pun menikah dan hanya bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Tapi ia berharap kelak memiliki seorang anak laki-laki
yang dapat meneruskan impiannya.
Sayangnya
istrinya melahirkan anak perempuan untuk pertama kalinya hingga keempat
kalinya. Akhirnya ia memutuskan untuk melupakan impiannya. Karena ia tak
dikarunia seorang anak laki-laki. Namun dia tetap begitu menyayangi keempat putri
dan juga istrinya. Sang istri bernama Daya Kaur merasa iba dan bersalah karena
tidak bisa melahirkan anak laki-laki untuknya.
Intrik dimulai ketika kedua putri Mahavir, Geeta Phogat dan Babita Kumari Phogat menghajar dua anak laki-laki tetangganya hingga babak belur. Mahavir yang mengetahuinya kaget dan sedikit keheranan. Namun saat Geeta dan Babita diminta menceritakan apa yang terjadi, Mahavir merasa begitu bahagia. Dia tak menyangka bakatnya akan menurun pada putrinya. Sejak saat itu Mahavir mulai merancang masa depan Geeta dan Babita untuk menjadi seorang pegulat perempuan.
Laki-laki selalu diberi hak istimewa sejak lahir dalam budaya patriarki. Karena peran publik yang lebih banyak diambil alih laki-laki. Bahkan untuk sekedar menjadi Pegulat pun, laki-laki dinggap lebih mampu dan mumpuni. Kesempatan untuk perempuan menunjukkan potensinya pun tak ada. Karena sejak lahir ia sudah diajarkan bagaimana mengurus pekerjaan rumah tangga. Maka tidak heran, anak laki-laki selalu menjadi harapan utama bagi orangtuanya.
Geeta
dan Babita pun mulai latihan dengan disiplin yang diawasi Mahavir. Bahkan
Mahavir memastikan Geeta dan Babita terpenuhi gizinya. Namun Geeta dan Babita mulai
membenci latihan keras yang diberikan Mahavir. Tetangga sekitar mereka pun
mulai bergunjing dengan menyalahkan Mahavir yang memaksa anak perempuannya berlatih
seperti anak laki-laki. Daya Kaur pun tak luput disalahkan, jika ia melahirkan
anak laki-laki, kedua putrinya tak kan menderita.
Suatu hari Geeta dan Babita menghadiri pesta pernikahan teman sekolahnya diam-diam tanpa izin Mahavir. Namun Mahavir mengetahui hal itu dan marah pada kedua putrinya. Geeta dan Babita pun berkeluh kesah dengan temannya mengenai sikap ayahnya. Namun temannya justru malah menginginkan sosok ayah seperti Mahavir. Karena Mahavir memikirkan masa depan Geeta dan Babita. Tidak seperti temannya yang baru berusia 15 tahun sudah dinikahkan orangtuanya dengan laki-laki yang tidak ia kenali.
Budaya patriarki membuat posisi anak laki-laki selalu diistimewakan dibandingkan anak perempuan. Bahkan seorang ibu pun disalahkan jika ia tak bisa melahirkan anak laki-laki. Padahal kelahiran anak laki-laki atau anak perempuan adalah takdir Tuhan yang tidak bisa ditebak. Tak hanya itu masyarakat menganggap menjadi istri dan berada di rumah sudah menjadi takdir bagi perempuan sedangkan laki-laki diharapkan menjadi tulang punggung keluarga.
Perempuan yang tak pernah diberi kesempatan mengembangkan dirinya, membuat ia tak bisa mandiri dan bergantung hidup pada keluarganya hingga dewasa. Sehingga banyak keluarga khususnya dari kalangan menengah kebawah yang menikahkan anak perempuannya sedini mungkin bahkan di usia sekolah. Setelah menikah biasanya mereka tidak akan pernah kembali bersekolah melainkan mulai sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga di rumah suaminya.
Geeta
dan Babita pun sadar dan mulai berlatih lagi tanpa menunggu perintah ayahnya.
Mahavir pun mulai mengajak Geeta untuk ikut pertandingan gulat melawan anak
laki-laki di daerah tempat tinggalnya. Pada pertandingan perdananya, Geeta
kalah namun para penonton memuja cara Geeta bergulat. Selanjutnya Geeta
mengikuti pertandingan gulat melawan laki-laki berkali-kali. Berkali-kali juga
ia menang hingga pada tingkat nasional.
Teman Mahavir mengatakan bahwa impian Mahavir sudah terwujud berkat Geeta. Namun Mahavir mengatakan bahwa impiannya akan terwujud hanya jika Geeta menjadi pegulat internasional mewakili negaranya. Lalu Geeta pun mulai bergabung di asrama atlet India untuk bertanding pada kejuaraan internasional. Sedangkan Babita mulai fokus mengikuti kejuaraan nasional dengan dilatih Mahavir. Awalnya Geeta kalah pada beberapa pertandingan, namun Mahavir terus memberikan arahan hingga pada akhirnya Geeta menang pada setiap pertandingan internasional yang diikutinya.
Meskipun stigma masyarakat saat itu sulit sekali ditepis, Mahavir dengan sabar menghadapinya dan tak putus asa atas impiannya menjadikan putrinya sebagai atlet pegulat internasional. Apa yang dilakukan Mahavir bukan sebatas melanjutkan impiannya yang tertunda, tapi juga menghancurkan stigma perempuan yang dianggap tidak memiliki kemampuan yang lebih baik dari laki-laki. Khususnya pada dunia pergulatan yang mengutamakan adu kekuatan fisik.
![]() |
Geeta Phogat |
![]() |
Babita Kumari Phogat |
Sedangkan Babita Kumari Phogat berhasil
memenangkan medali emas dalam ajang Commonwealth Games 2014. Ia juga
memenangkan medali perak dalam ajang Commonwealth
2010 dan 2018. Pada Kejuaraan Gulat Dunia 2018 dia berhasil meraih medali
perunggu.
Penulis: Yolanda Eka Safitri
Editor:
Wilujeng Nurani
0 komentar