Perempuan Bisa Menjadi Kepala Rumah Tangga

Stigma kepala rumah tangga adalah laki-laki sudah sangat amat melekat di kehidupan kita. Hal ini merupakan buah dari budaya patriarki yang masih tumbuh subur hingga saat ini. Masyarakat selalu menganggap peran kepala rumah tangga dimainkan oleh laki-laki adalah sebuah kodrat yang tidak dapat diganggu gugat. Karena kepala rumah tangga identik dengan tugas sebagai pencari nafkah utama. Akan menjadi aib bagi pasangan suami-istri jika masyarakat tahu bahwa istri yang bekerja dan suami yang mengurus pekerjaan rumah.

Budaya patriarki ini pun mendapat legalitas dari negara melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). 

Bisa dilihat dalam KHI pada Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) yaitu: bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

3. biaya pendidikan bagi anak.

Hal senada juga tertulis pada Pasal 34 ayat 1 UU Perkawinan yaitu: suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Bahkan dalam buku pernikahan tertulis pembagian peran dalam rumah tangga. Suami diposisikan sebagai kepala rumah tangga berikut dengan rincian tugas-tugasnya. Sedangkan istri diposisika  hanya sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya hanya membantu dan mendukung tugas-tugas dari kepala rumah tangga. 

Jadi tidak heran jika masyarakat masih menganggap aneh dan menyimpang jika mengetahui seorang perempuan yang bekerja dan laki-laki mengurus rumah tangga. Mirisnya lagi jika perempuan bekerja, masih dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang pastinya akan memberatkan perempuan. 

Hal utama yang harus kita pahami terkait siapa yang akan menjadi kepala rumah tangga adalah melihat kondisi rumah tangga. Kondisi masing-masing rumah tangga setiap orang berbeda. Maka tidak semua keluarga dimana sang suami yang menjadi kepala rumah tangga, melainkan sang istri. Biasanya ini berkaitan dengan pendapatan istri yang jauh lebih besar dan stabil atau suami yang tidak mampu lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Selain itu ada perempuan yang belum menikah menjadi kepala rumah tangga untuk keluarganya karena orangtuanya sudah terlampau tua dan tak lagi mampu bekerja. Sama halnya dengan ibu single parents yang menjadi kepala rumah tangga bagi anak-anaknya semenjak bercerai ataupun setelah suami meninggal. Banyak hal yang memungkinkan seorang perempuan bisa menjadi kepala rumah tangga. Namun masyarakat kita kerap mengabaikan realitas yang terjadi dan tetap berpegang teguh pada budaya patriarki.

Siapa pun yang menjadi kepala rumah tangga dalam keluarga harusnya tidak lagi dilhat berdasarkan gender melainkan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan finansial. Seharusnya yang menjadi perhatian kita dalam membangun rumah tangga adalah bagaimana keluarga dapat hidup bahagia dan terpenuhi semua kebutuhannya. Jika perempuan lebih unggul dari laki-laki dalam bekerja, bukanlah suatu hal yang salah. Seperti halnya jika laki-laki yang lebih unggul dari perempuan dalam bekerja. 

 

Penulis: Yolanda Eka Safitri

Editor: Choris Satun Nikmah

0 komentar