Wanita Jawa: Berbicara dalam Senyap, Memberontak dengan Kepatuhan dan Berkuasa atas Ketertindasan
Secara etimologi kata wanita berasal dari bahasa
sansekerta wan dan ita berarti “yang dinafsui”, sedangkan
dalam Bahasa Jawa berasal dari kata wani yang artinya berani
dan ditata yang berarti diatur atau wani yang artinya berani dan tapa yang berarti menderita. Penggunaan kata wanita cenderung lebih jarang
digunakan dibandingkan dengan kata perempuan yang berasal dari kata empu yang memiliki arti ahli. Walaupun demikian, menurut
C.S. Handayani dan Ariyanto (2011) dalam buku Kuasa Wanita Jawa, penggunaan
kata wanita dianggap lebih mencerminkan kenyataan praktis kehidupan
perempuan-perempuan Jawa.
Wanita cenderung dianggap sebagai korban atas
diskriminasi gender dalam lingkup budaya patriarkal, terutama di Jawa. Ungkapan
yang seringkali terdengar terkait tugas seorang wanita meliputi 3M, yaitu: Manak, Masak, dan Macak (Melahirkan, Memasak, dan Berdandan) atau Swarga Nunut, Neraka Katut. Kedua ungkapan itu menganggap wanita hanya sebagai
objek yang tidak memiliki kemerdekaan untuk bertindak atas dirinya sendiri, karena peran dan
tingkah lakunya sudah ditentukan budaya. Tak dapat dipungkiri, bahwa sampai
sekarang hal-hal semacam ini masih dibenarkan dalam masyarakat.
Perkembangan pemikiran dan isu-isu feminisme untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai manusia yang utuh nan sempurna, lambat-laun turut mempengaruhi gerakan perempuan di Indonesia dan semakin
membenarkan bahwa wanita adalah korban perkembangan kebudayaan patriarki. Pertanyaan-pertanyaan
yang sedikit gila akhirnya bermunculan, seperti apakah wanita-wanita itu
benar-benar tertindas dan tidak memiliki kekuasaan apapun? Apakah selama ini
mereka tidak sadar sebagai pihak yang tertindas dan korban kebudayaan? Apakah
selama itu mereka tidak mengerti hak-hak yang dimiliki sebagai seorang
manusia?.
Suatu realitas yang sangat menarik apabila membandingkan dua tokoh perempuan yang namanya cukup berpengaruh di suatu negara, mereka adalah Hillary Clinton dan Siti
Hartinah Soeharto (Ibu Tien Soeharto). Hillary merupakan istri dari Bill
Clinton mantan orang pertama di Amerika Serikat. Pada masa kejayaan suaminya,
Hillary tidak dapat mempengaruhi kebijakan publik tanpa terjun langsung dalam
sektor publik, ia harus mendapatkan jabatan terlebih dahulu untuk dapat
mempengaruhi kebijakan negara. Sementara Ibu Tien Soeharto, yang merupakan cerminan
dari wanita Jawa yang tertindas dan tidak memiliki jabatan di sektor publik dengan
satu kata saja dapat menentukan kebijakan pemerintah. Contoh: Pembangunan Taman
Mini Indonesia Indah (TMII), sampai Gubernur waktu itu, Ali Sadikin melegalkan perusahaan perjudian, tempat hiburan dan pelacuran untuk menutup kekurangan biaya pembangunan
TMII.
Pada konsep kekuasaan barat yang memerlukan legitimasi atas kekuasaan, seharusnya Ibu Tien Soeharto itu tidak dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, karena ia tidak memiliki jabatan di sektor publik, kecuali jika Ibu Tien Soeharto adalah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara pada konsep kekuasaan Jawa yang bersifat konkret dan tidak memerlukan legitimasi kekuasaan, Ibu Tien Soeharto dapat berkuasa dan mempengaruhi kebijakan publik tanpa memiliki jabatan di sektor publik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pemikiran barat mampu menerjemahkan suatu realitas sosial dalam masyarakat.
Kasus lain misalnya, perjuangan R.A. Kartini yang dikenal
sebagai Pahlawan Emansipasi. Ia mampu mempengaruhi kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda dengan cara-cara yang elegan, tanpa melakukan perlawanan fisik. Melalui
tulisan dan surat-suratnya tentang hak-hak perempuan terutama dalam memperoleh
kesetaraan pendidikan ia dijuluki sebagai Pahlawan Pena. Pemikiran-pemikiran
Kartini tentang perempuan, pendidikan dan kebudayaan masih sangat relevan hingga
saat ini. Di sisi lain, ia memperjuangkan pendidikan bagi wanita pribumi bukan
dengan cara-cara perlawanan justru
dengan cara menyatu dan menyelaraskan.
Dua realitas tersebut dapat mencerminkan beberapa keunikan
wanita Jawa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Pertama, Berbicara dalam Senyap. Kemampuan bertahan wanita Jawa dalam kebudayaan patriarkal merupakan
suatu kekuatan tersendiri. Gramsci, menyebutkan bahwa wanita Jawa itu menerima
dan sadar bahwa mereka adalah pihak yang dikuasai, ia menyebut ini sebagai hegemoni
(C.S. Handayani dan Ariyanto, 2011). Wanita Jawa menerima hegemoni kekuasaan
laki-laki atas dirinya dalam budaya patriarki. Namun, ke-pasif-an mereka bukan
berarti tidak menginginkan perubahan yang lebih baik, terutama untuk pemenuhan
hak-hak perempuan. Berbicara dalam senyap, dapat diartikan sebagai suatu strategi
mengemukakan pendapat yang tidak melalui media publik secara langsung, seperti
R.A. Kartini yang menulis surat kepada para sahabatnya.
Kedua, Memberontak dengan Kepatuhan. Wanita Jawa memiliki
cara yang khas dalam mewujudkan sesuatu. Mereka mendapatkan kekuasaan bukan
dengan penghancuran suatu kelas sosial. Perjuangan tersebut justru berusaha
untuk selaras dengan kebudayaan, bukan dengan menghancurkan akan tetapi
mengikis secara perlahan, bukan mendongkel fondasi budaya namun dengan
memperbaiki celah. Wanita Jawa berjuang bukan dengan cara melawan, namun dengan
melakukan penyelarasan. Mereka cenderung mempertahankan nilai-nilai keutamaan Jawa, seperti kehormatan dan terkendali. Kemenangan wanita Jawa itu didapat
melalui konsensus, bukan penindasan terhadap
suatu kelas. Seperti kutipan surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, pada 4 Oktober 1901.
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan
anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi
kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan
alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia
yang pertama-tama”.
Ketiga, Berkuasa atas Ketertindasan. Wanita Jawa
cenderung melakukan strategi pengabdian, hal ini dilambangkan dengan huruf jawa
dipangku mati. Ini diartikan sebagai suatu cara mengambil hati
seseorang, mendapatkan kekuasaan melalui rasa cinta dan kasih sayang. Hanya
saja strategi ini memerlukan waktu yang lama untuk menjadikan wanita Jawa
berkuasa. Misalnya, pengabdian seorang istri atau ibu yang mampu membuat seluruh
anggota keluarga bergantung padanya hingga ibu memiliki kekuasaan dan pengaruh
yang lebih besar dalam kehidupan domestik. Atau kisah Nyai Ontosoroh, dari
novel Bumi Manusia yang menggambarkan bahwa melalui pengabdian yang panjang,
dilakukan secara perlahan hingga menjadi kebiasaan dan secara tidak sadar pada
akhirnya sang Tuan itu bergantung dan tidak dapat terlepas dari Nyai Ontosoroh
untuk membantu tugas-tugasnya.
Selama ini, kelembutan dalam kultur Jawa diartikan sebagai sesuatu yang lembek, tidak berdaya dan pasif. Namun ternyata hal itu dapat dirubah menjadi kekuatan dan potensi sesungguhnya dari wanita Jawa yang memiliki cara tersendiri dalam memperjuangan hak-hak perempuan diantaranya seperti, Berbicara dalam Senyap, Memberontak dengan Kepatuhan dan Berkuasa atas Ketertindasan.
Penulis: Choris Satun Nikmah
Editor: Wilujeng Nurani
2 komentar
Salam kak, saya izin tema arikel ini dijadikan bahan diskusi kami tentang keperempuanan dan sumbernya akan kami cantumkan. Apakah boleh?🙏
BalasHapusboleh kak, semoga bermanfaat dan selamat berdiskusi
Hapus