Merdeka dari Hati


Merdeka! Sebuah kata yang sering kita dengar  menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia. Kata ini selalu dikumandangkan sebagai ekspresi bebas dari segala bentuk penjajahan. Pada saat itu penjajahan berupa ekspansi kewilayahan dan pengerukan sumber daya alam oleh negara-negara penjajah. Pada tulisan ini bukan aspek sejarah yang akan kita perdalam, namun aspek kemerdekaan pribadi yaitu kemerdekaan yang berasal dari hati. Hmm... kalau pembaca kurang tertarik silahkan berhenti pada paragraf ini saja, karena paragraf selanjutnya hanya untuk jiwa-jiwa yang penasaran.

Oke, terimakasih terlebih dahulu untuk para pembaca yang dihantui rasa penasaran.

Dahulu kala terdapat dua golongan manusia, yaitu manusia merdeka dan budak. Seorang budak memiliki tuan yang harus ia layani setiap saat. Sementara manusia merdeka bebas menentukan apa yang dia inginkan tanpa harus melayani tuannya. Sekarang eksistensi budak sangat minim karena bertentangan dengan adanya Hak Asasi Manusia, walaupun mungkin saja praktik perbudakan masih terdapat di beberapa belahan dunia. Atau menjelma pada perburuhan pabrik yang tak berperikemanusiaan. Setidaknya dalam hal ini, ukuran manusia atau pribadi yang merdeka dapat dilihat melalui terjamin atau tidaknya Hak Asasi Manusia, seperti hak untuk berpendapat, berkumpul, mendapatkan keturunan, mendapatkan pekerjaan, mendapat informasi, dan lain sebagainya. Tapi pernahkah kalian berpikir bahwa bisa saja kita tidak bisa merdeka dari diri kita sendiri.

Hal ini sangat mungkin terjadi jika kita berbicara melalui pendekatan psikologis atau paling gampang dengan pendekatan rasa. Rasa yang dimaksud bukan rasa yang tercipta karena penggunaan lidah, namun rasa yang terpaut pada hati manusia. Banyak filsuf yang berkata bahwa hati adalah kepemilikan manusia yang selalu menuju pada yang hanif atau bahasa mudahnya yaitu menuju kebenaran/kebaikan. Namun akan menjadi lain cerita jika hati tersebut berisi banyak kedengkian, rasa dendam, dan beban yang tidak terselesaikan. Penulis teringat sebuah kata yang cukup bisa menggambarkan keadaan ini, yaitu:

“Perempuan yang paling bahagia di dunia ini adalah ia yang ketika tidur hatinya kosong dari laki-laki. Ia terbangun hanya untuk memperhatikan dirinya sendiri. Tak ada laki-laki yang mengekang kebebasannya, tak ada cinta yang menghukung hatinya.”, Nizar Qabbani

Untuk kalimat itu sepertinya tidak perlu dijelaskan panjang lebar atau jiwa-jiwa yang pernah patah pasti mudah memahami dan mungkin sering mengalami ini. Xixixi (Punten ketawanya mirip grup Facebook Menjadi Bapack-Bapack: Sebuah pengantar). Tapi penulis perlu menegaskan bahwa beban hati itu bukan cuma perkara cinta-cintaan semata jadi jangan dipersempit ya. Beban hati itu bisa berupa tanggung jawab, ambisi, kegagalan, penyesalan dan kawan-kawannya atau semua hal yang bisa membuat diri terkekang dalam diri sendiri.

Sebagai manusia yang memiliki banyak identitas sosial, yang hidup dalam lingkup masyarakat, mempunyai norma dan aturan yang harus dipatuhi tentu membuat diri kita tak bisa terlepas dari beban-beban diatas. Hal ini membawa fakta bahwa setiap dari kita bisa jadi tidak merdeka dari hati dalam diri sendiri. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita bisa mengerti telah merdeka atau belum? Paling mudah ukurannya adalah ada atau tidaknya kebahagiaan dan keikhlasan dalam diri kita sendiri. Dengan demikian strategi Self love and self healing  adalah hal yang penting untuk dikuasai.

Oiya, tentu kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa hati itu cenderung labil, sehingga ada doa (dalam Islam) yang sering diajarkan, yaitu:

“Ya Muqallibal Qulub, Tsabbit Qalbi aala Diinik”,

artinya: Wahai engkau Dzat yang dapat membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.

 

Penulis : Choris Satun Nikmah

Editor : Yolanda Eka Safitri

 

2 komentar

  1. Semangat selalu dalam menulis dan menebar manfaat ka Choriss😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. makaihh dedekk, ayo dek kita nulis dan beekarya bareng hehe

      Hapus