Dampak Tugas Suami Istri yang Bias Gender dalam Undang Undang Perkawinan

Budaya Patriarki yang sudah lama berdiri telah memberikan dampak buruk yang berkepanjangan. Semua kebijakan yang lahir merujuk pada kacamata Patriarki. Sehingga orang yang paling dirugikan dari sistem Patriarki adalah perempuan. Mulai dari ruang lingkup keluarga, hingga masyarakat luas. Untuk menghilangkan Budaya Patriarki, maka diperlukan pemahaman akan kesetaraan gender.

Kesetaraan gender sudah mulai dicanangkan oleh pemerintah dengan meratifikasi Konvensi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional (Inpres PUG).

Pengarusutamaan gender merupakan proses dimana permasalahan gender diintegerasikan dalam empat fungsi utama institusi pemerintah, yaitu perencanaan yang menghasilkan mandate dan tujuan yang jelas untuk perempuan dan laki-laki; pelaksanaan yang memastikan bahwa pelaksanaan strategi menghasilkan pengaruh yang baik kepada perempuan dan laki-laki; pemantauan yang mengukur kemajuan pelaksanaan program dari sudut pandang partisipasi dan manfaat untuk perempuan dan laki-laki; evaluasi yang memastikan bahwa status perempuan dan laki-laki telah meningkat sebagai dampak dari pelaksanaan program tertentu. [1]

Namun perubahan yang diharapkan untuk menghilangkan ketimpangan gender khususnya dalam Pembangunan Nasional agaknya masih sangat sulit. Berbagai kebijakan sudah diatur sedemikian rupa, seperti penetapan kuota keterwakilan perempuan sebagai Calon Legislatif (Caleg) minimal harus sebanyak 30%.  Namun hingga sekarang belum pernah mencapai angka minimal 30% tersebut.

Permasalahannya adalah pemerintah mengabaikan hal yang paling krusial untuk diperhatikan. Sebelum mengatur ke ranah yang lebih luas, seharusnya pemerintah mengatur dahulu dalam ranah terkecil sosial, yaitu keluarga. Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan masih memuat tugas suami isteri yang sangat bias gender. Hal ini pastinya akan berdampak pada tujuan dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dan juga upaya penghapusan sistem Patriarki yang merugikan perempuan.

Pada dasarnya memang terdapat persamaan hak dan kewajiban  yang sama antara suami dan isteri dalam Undang Udang Perkawinan yaitu :

Pasal 30, Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31 ayat (1) dan (2),

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Pasal 32 ayat (1) dan (2)

Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain

Namun sayangnya pasal-pasal diatas yang mencerminkan nilai-nilai kesetaraan bertolak belakang dengan pasal-pasal dibawah ini yaitu :

Pasal 31 ayat (3)

Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

(3)  Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Dilhat dari pada Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34, sudah dapat dikenali sebagai karakteristik dari budaya patriarki yang mengsubordinasikan posisi perempuan hanya pada urusan rumah tangga saja. Dalam Bahasa Jawa yang sering kita dengar dengan istilah 3M, Macak, Masak, dan Manak. Masih banyak laki-laki yang menuntut perempuan untuk di rumah saja. Sehingga adanya hukum tertulis berupa Undang Undang Perkawinan yang menjabarkan tugas suami isteri yang bias gender, seakan melanggengkan Budaya Patriarki.

Jumlah para legislator yang mendominasi penyusunan undang-undang ini turut menjadi faktor penting dalam mempengaruhi karakteristiknya. Bahwa para legislator yang mendominasi pembuatan undang-undang ini adalah laki-laki, sehingga tidak heran ketika produk hukum yang dihasilkan cenderung patriarkis atau mensubordinasikan posisi perempuan. [2]

Maka diperlukannya  komitmen tinggi dari para pembuat kebijakan, khususnya pemerintah untuk mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan gender seperti yang tercantum dalam Konvensi CEDAW antara lain: a) Prinsip Kesetaraan Substantif, b) Prinsip Non Diskriminasi, dan c) Prinsip Kewajiban Negara.

Sudah 46 tahun Undang Undang Perkawinan ini berlaku, rasanya sudah terlalu usang mempertahankan pasal-pasal yang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Kemudian pada tahun 2019 Undang Undang Perkawinan direvisi dengan membuahkan hasil berupa penyamaan umur menikah antara laki-laki dan perempuan yaitu jika mencapai umur 19 tahun. Sebelumnya laki-laki minimal berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Tapi masih sangat disayangkan, Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 tidak ikut direvisi.

Mengingat bahwa pemerintah mendukung penuh adanya kesetaraan gender dengan Inpres PUG, seharusnya pemerintah berkomitmen penuh dalam usaha menanggulangi ketimpangan gender secara menyeluruh, bukan setengah-setengah. Apalagi pemerintah kerap kali membual akan pemberdayaan perempuan dalam pembangunan nasional. Karena nyatanya masih banyak perempuan yang sulit bergerak dikarenakan ditutupnya akses bagi perempuan oleh lingkungannya, khususnya keluarga.

Permasalahnnya adalah bagaimana bisa perempuan ikut berpartisipasi dalam  pembangunan nasional, jika hidupnya saja sudah diatur sedemikian rupa dalam Undang Undang Perkawinan. Hal ini akan semakin menekan dan mempersempit ruang gerak perempuan. Sehingga muncul asumsi bahwa jika tidak mengikuti hukum yang berlaku akan dicap sebagai orang yang melanggar peraturan. Belum lagi ditambah jika lingkungan sosial si perempuan adalah penganut budaya Patriarki.

Perlunya merubah pasal-pasal dalam Undang Undang Perkawinan yang bersifat bias gender agar keseteraan gender dapat tercapai dengan maksimal. Sehingga tidak ada lagi pembatasan antara laki-laki dan perempuan untuk berpartipasi dalam Pembangunan Nasional. Karena setiap individu baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.

Sumber :

[1] Khofifah Indah Parawansa, Mengukur Paradigma Menembus Tradisi, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm 41.

[2] Muhammad Busyrol Fuad, Reformulasi Norma Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Hukum Keluarga Di Indonesia (Sebuah Upaya Pengarusutamaan Gender dalam Pembaharuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), Malang: Universitas Brawija, 2015, hlm 2.

 

Penulis : Yolanda Eka Safitri

Editor : Fahra Agustina Melati

0 komentar